Yang Angkuh Akan Hilang, Yang Baik Juga Hilang


Yang Angkuh Akan Hilang
Yang Baik Juga Hilang
Oleh : Haekal Syarief


Seperti biasa malam menjelang pagi sekali beliau menyapu teras masjid, padahal belum sama sekali terdengar suara ayam berkokok. Matanya memang selalu terjaga orang-orang menyebutnya si mata elang. Nama aslinya Pak Ahmad Bonar Nasution, masyarakat sekitar biasa memanggilnya Aki Bonar. Beliau orang Medan asli, hanya saja beliau dan keluarga merantau ke Ciamis 20 tahun yang lalu. Beliau memang dikenal warga seorang yang tak kenal tidur, kadang ia begadang sambil membersihkan sekitaran masjid, dan kadang sekadar ngobrol-ngobrol santai bersama warga desanya.
Dan saat itu malam makin larut, Ujang yang hanya duduk-duduk bersama Pak lurah Deden di gubuk sebelah masjid, tidak melihat aktifitas yang biasa dilakukan Aki Bonar. Padahal di jam-jam ini Aki Bonar sibuk membersihkan seputaran masjid. 

“Pak, tumben ya Aki Bonar gak keliatan, biasanya mah beliau yang paling rajin nyapu-nyapu sekitaran masjid.” 

Da iya ya jang, si aki gak keliatan, kemana atuh ya, sakit kali, atau dia lagi lelah mungkin, sembari rebahan di tempat marbot biasanya. Coba kamu cek Jang siapa tahu si Aki disitu!” 

“Coba bentar Ujang cek dulu Pak, kali aja lagi gogoleran* disana si aki, atau gak lagi ngopi kali Pak! , hehehe.”

“Iya sok mangga* Jang!”

Ujang akhirnya mengecek ke tempat marbot, biasanya Aki Bonar ada disana. Padahal matanya sudah 5 watt, redup dan badan juga loyo. Tetapi Ujang tetap memaksakan diri mencari Aki Bonar. 

“Disamping kebun duh ngeri ada jurig aja ini mah, duh ini si Aki kemana lagi ya!” 

“Ki... Aki?”

Ujang mencoba mengetuk pintu tempat marbot tidur

Tok.. tok... tok 

“Ada orang di dalam?”

Gluprak

Bunyi barang-barang jatuh didalam tempat marbot. 

“Aduh gusti aya naon eta?”

Ujang kaget dan panik berlari kesamping

“Aduh kirain mah apa atuh, panci bolong, sama sepatu butut, haduh-haduh”

“Ini Aki kemana ya, kalau tidak ada disini pasti dirumahnya.”

Dan pada akhirnya Ujang tidak menemukan Aki Bonar disana. Malam semakin sunyi, jangkrik-jangkrik dan bunyi tonggeret* yang nyaring sekali, ditambah pohon pisang yang menari-nari ditiup angin, menambah bulu kuduk merinding. Sedang asyik jalan Ujang pun dikejutkan dari belakang, suaranya seperti Aki Bonar.

“Astagfirullah, Aki ngagetin aja, untung Ujang tidak jantungan, Ki!”

“Darimana aja Aki?, Ujang cari di belakang tempat marbot tidak ada, disana juga, keliling-keliling, tahu-tahu Ujang di kageti dari belakang.”

Ujang terlihat kaget dan tidak tahu harus bicara apalagi. Sedangkan Aki Bonar malah senyum-senyum melihat Ujang yang kaget tadi.

“Aki disini Jang, kalau habis bersih-bersih Aki disini, sedang membayangkan saja nasib orang-orang di desa disini 5 tahun kedepan gimana ya?”

“Sedangkan Aki yang bukan asli dari tanah ini saja miris melihat keadaan masyarakat yang sudah jauh dari nilai-nilai leluhurnya Jang!”

Aki Bonar berdiri disamping Ujang sambil menceritakan masa lalunya. 

“Ujang kira, Aki lagi tidak enak badan atau sakit, eh tau-tau di sini.”

Ujang menggaruk-garuk kepalanya.

“Ya memang ada benarnya omongan Aki tadi, Ujang juga merasa suasananya sudah berbeda dari tahun ke tahun, padahal mah ya, desa ini adem ayem aja ya Ki!”

“Begitulah Ujang, padahal Aki yang bukan masyarakat sunda asli disini sangat kecewa dengan kedatangan Romo Ageng Saepuddin itu, dia memberikan pengaruh buruk pada masyarakat di desa ini, apabila kekuasaan dia rebut dan naik menggantikan lurah Deden, sudah dipastikan kampung ini sudah tiada Jang...”

            Setelah berbicara ngalor ngidul Ujang mengajak Aki Bonar ke gubuk samping masjid, sembari menunggu sahur tiba dengan Pak lurah Deden yang mungkin sudah lama menunggu disana.

“Aduh si Ujang lama sekali itu anak kemana ya, mana banyak nyamuk begini, haduh ampun-ampun.”
Pak lurah melihat di kejauhan ada Aki Bonar dan Ujang yang sedang jalan menuju gubuk itu.


Aki menunjuk kearah gubuk, disana ada Pak lurah yang menunggu sambil diserang nyamuk.

“Itu Pak lurah kasihan Ki, nunggu Ujang kayanya mah Ki, mana tadi Ujang belum beli obat nyamuk di warung Ceu Lilis.”

Ceu Lilis sendiri merupakan bibinya Ujang yang terkenal sebagai kembang desa. Kecantikannya yang tidak pernah padam, padahal dia adalah seorang janda yang belum dikaruniai anak, ia ditinggal mati suaminya akibat kecelakaan kerja. Dengan kecantikannya juga menjadikan warungnya selalu ramai dikunjungi pembeli. Hanya sekadar merokok dan ngopi-ngopi saja.

“Haduh kebiasaan kamu mah Jang, sudah tahu banyak nyamuk di gubuk itu, segala tidak bawa obat nyamuk, kasihan itu lihat Pak lurah habis digigiti nyamuk.”

Aki Bonar tertawa-tawa.

Kemudian Pak lurah meneriaki Ujang dari gubuk itu.

“Hei buru kesini atuh Ujang, ai kamu kemana saja sih lama sekali, kamu bawa obat nyamuk tidak, Jang?, banyak nyamuk daritadi haduh ampun... ampun, Jang.”

Pak lurah sibuk menggaruk-garuk tangannya yang digigiti nyamuk.

“Aduhh Ujang lupa ke warung Ceu Lilis Pak, ya sudah lah biar saja, hehehe, itung-itung sedekah sama nyamuk, Pak!”

“Ya sudah lah Jang mau bagaimana lagi, Ceu Lilis juga sudah tidur kali.”

Mereka bertiga akhirnya membicarakan perihal keadaan desa Kedah Tiung. Semenjak datangnya Romo Ageng Saepuddin, masyarakat desa mendadak berubah drastis, dengan dimulai perubahan akhlak mereka. Masyarakat desa yang tadinya ramah-tamah terhadap sesama, baik orang lama maupun pendatang, tapi sekarang mereka semua malah saling curiga dan memfitnah. Selain itu warga desa yang dahulunya terkenal sangat agamis, berubah perlahan akibat ulah kaki tangan Romo Ageng Saepuddin sendiri. Mereka sengaja menjauhkan masyarakat desa dari agama-agama yang mereka anut, masjid-masjid perlahan-lahan dihancurkan, hanya beberapa yang tersisa, salah satunya yang dijaga oleh Aki Bonar. Sebab kaki tangan Romo Ageng Saepuddin tidak berani menghancurkannya, karena Aki Bonar sendiri sering terjaga di malam hari, itu yang menyebabkan kaki tangannya tidak berani bergerak.

“Eh Aki, apa kabar?, saya kira Aki téh sakit, makannya tidak kelihatan dari tadi, biasanya kan Aki nyapu-nyapu masjid, makannya saya suruh si Ujang cari ke belakang.”

Sambil menepuk pundak Ujang.

“Baik Alhamdulillah Den, iya Aki memang suka dibelakang, kan ada gubuk kecil  juga dibelakang masjid, sengaja Aki buat untuk sekadar duduk dan merenungi nasib Aki sendiri, keadaan kita, keadaan desa kita Den, kamu merasa pasti ada yang berbeda di Desa kita ini kan?”

Aki Bonar menjawab pertanyaan dengan nama aslinya Pak lurah yaitu Deden, sambil senyum-senyum. Dan menanyakan kepada Pak lurah apakah kampung berbeda dari sebelumnya.

“Iya Pak lurah pasti tahu lah, itu akibat kedatangan Romo Saepuddin sialan itu Pak!, Ujang juga udah kesel ngeliat tingkahnya Romo itu, ampun Gusti Nu Agung!”

Ujang menyela pertanyaan Aki Bonar untuk Pak lurah.

“Iya memang benar Ki... Jang, saya sendiri sengaja menyembunyikan ini dari kalian. Sebenarnya kaki tangan Romo Saepuddin itu sudah beberapa kali memaksa masuk ke kantor lurah, tidak jelas apa maksudnya. Untungnya saya tidak ada di kantor, mungkin kalau saya disana mungkin sudah diseret ke istananya Romo kali. Tapi memang ada omongan dari hansip sekitar kantor, Romo Saepuddin ingin melengserkan saya, dia ingin mengubah tatanan desa ini menjadi perkotaan dengan kasino dan tempat prostitusi.”

Pak lurah menjelaskan, raut wajahnya berubah, Pak lurah membuka peci, sambil mengipas-ngipas.

“Iya benar Den, Aki sendiri sebenarnya juga ingin bilang ini ke kamu dan Ujang, tapi kalian sendiri malah sibuk dengan kegiatan duniawi masing-masing. Memang semenjak datangnya si Saepuddin itu ke desa kita ini, Aki sudah tidak senang dengan tingkah lakunya, yang sok kaya, sombongnya sudah kelewatan, dan yang Aki sesalkan dia juga tidak punya sopan santun terhadap orang yang lebih tua.”
“Memang Kenapa Aki?”

“Aki dijahati mereka?”

Ujang menyela pembicaraan Aki Bonar. 

“Kemarin Aki sedang menyapu masjid saja, dia bersama kaki tangannya lewat tanpa permisi dan meludahi Aki begitu saja, Den... Jang.”

Aki mencoba menjelaskan kepada Ujang dan Pak lurah dengan nafas yang terengah-engah.

“Wah, bener-bener sudah keterlaluan itu mah, kalau Ujang ada di TKP, Ujang ajakin gelut, baku hantam. Kita memang harus menyingkirkan si tumila* itu dari desa ini. Sebab bibit kejahiliahan sudah menyebar ke penjuru desa kita, masyarakat desa sedikit sudah jauh dari agama dan ingin membuat tempat prostitusi di sini. Baiknya kita cegah Pak lurah... Ki Bonar...”
Ujang nampak kesal

“Memang ada baiknya begitu Jang, da tapi kan Pak lurah cuma punya dua tangan, kalau mengatasi ini sendirian Pak lurah juga bakal musnah dari sini, butuh bantuan beberapa warga yang masih sadar akan agama, bantuan kamu dan Aki Bonar juga. Ditambah lagi dia juga sudah mengancurkan masjid-masjid desa untuk perluasan tanahnya, ini akibat warga yang sudah tergiur dengan uang besar yang diberikan si Saepuddin, memang uang lah bisa berkuasa atas segala-galanya, sampai-sampai agama pun rela dijualnya, mereka dari kita banyak yang berdusta. Mengatakan bahwa dirinya menuhankan Allah Gusti Pangeran nu Agung, Tapi apa? Kenyataanya mereka menuhankan uang-uang di kantong Saepuddin sinting itu.”

Pak lurah tetap menunjukkan raut wajah yang sama dan kali ini dengan raut yang lebih serius. Sedangkan Ujang masih menggebu-gebu ingin bertemu dengan Romo Ageng Saepuddin.

“Aki sendiri juga tidak tahu apakah yang akan terjadi nantinya, Aki sendiri sudah tua... sudah sakit-sakitan terus, kamu yang harus menjadi tonggak di desa ini Jang!” 

“Anak muda yang harus bergerak. Mungkin di desa ini hanya kamu yang masih sedikit benar Jang, coba lihat teman-temanmu. mereka sibuk berbuat maksiat.”

Pak lurah sudah siap dengan kretek dan koreknya, sementara si Ujang asyik mendengarkan Aki sambil menggaruk-garuk badannya karena di gubuk itu banyak sekali nyamuknya.

“Iya benar Akii... Pak lurah!”

Ujang menimpali dengan semangat pernyataan Aki Bonar.

“Kamu sebenarnya yang jadi penerus di kampung ini, Aki sudah tua, Pak lurah juga belum tahu bagaimana nasibnya nanti, dibanding temen-temenmu yang lohong*, kamu yang masih lurus Jang, kamu harapan desa ini.” 

Jawab Aki Bonar yang sedang senderan pada dinding gubuk.

“Tapi begini Ki..Pak, Ujang rada takut tak punya banyak keberanian untuk melakukan ini semua.”

Lalu Pak lurah yang kelebat-kelebut dengan kreteknya akhirnya menimpali Ujang.

“Loh kamu takut?, aduh ari kamu mah Jang... Jang.”

“Apa yang kamu takutkan, tidak dapat acis*, tidak dapat pekerjaan?”

Pak lurah terus menghisap kreteknya.

“Bukan Pak lurah, bukan begitu, yang saya takutkan Allah tidak ridho sama apa yang Ujang kerjakan ini nantinya. Dengan Ujang menceramahi mereka pakai dalil-dalil tidak mempan Pak, yang ada dikeroyok mereka karena menganggap saya sok suci, merasa diri paling benar bukannya di Al-Qur’an melarang kita begitu, Pak?”

Aki tetap bersandar di dinding dan nampaknya sudah mengantuk mendengarkan omongan si Ujang dan Pak lurah. Sedangkan Pak lurah asyik menikmati sebatang kretek yang tidak kunjung habis.

“Hehehe, benar kan apa yang Pak lurah bilang tadi. Kamu ini masih punya ketakutan, buat apa kamu takut?, lah yang angkuh saja akan hilang lantas bagaimana yang baik?”

“Kamu punya kebaikan ya ajarkan, sebarkan, walaupun sebesar biji jarah, bukan begitu Jang?”

Ujang mulai menunjukkan raut berbeda dari sebelumnya, mukanya cemas tidak menggebu-gebu seperti membicarakan Saepuddin.

“Tapi Pak..”

Ujang mencoba menyela.

“Tidak usah pakai tupa tapi Jang, kerjakan laksanakan, sami’na wa atho’na.

“Masih mau diam? Kamu punya pengaruh besar sebenarnya disini Jang, Aki dan saya pasti mendukung kamu.”

Pak lurah sambil melihat jam tangannya, tangannya juga mulai bentol-bentol akibat diserang nyamuk malam ini. Sementara Aki Bonar masih tidak banyak bicara masih saja sandaran sambil selimutan dengan kain sarung yang dipakainya.

“Cara yang tepat apa Pak lurah?, kalau hanya nyerocos agama yang ada mereka menghindar duluan Pak, bingung sendiri saya juga.”

Pak lurah membuang puntung rokoknya, dan merapihi pakaiannya lagi. Sedang si Ujang masih nampak kebingungan.

“Ah kamu ini Jang lulusan pesantren masa engga paham masalah metode dakwah beginian Jang, ampun-ampun. Kamu tidur terus sih kalau kyai sedang menerangkan beberapa bab.”

Pak lurah tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Ujang masih kebingungan terhadap pernyataan Pak lurah. Disana Aki Bonar hanya senyum-senyum saja.

Ai Pak lurah kumaha da Ujang mah Pondokannya fokus dalam membahas kitab dan mendalami makna Al-Qur’an saja, tidak memfokuskan pada metode dakwahnya Pak!”

Ujang mencoba menjawab pernyataan Pak lurah, sedangkan Pak lurah masih tertawa-tawa.
“Halah, kamu ngeles aja, Jang.”

“Aduh begini-begini Pak lurah juga pernah mondok bahkan lingkungan Bapak, lingkungan Kyai dan teman-teman Bapak, Gus semua rata-rata Jang. Jadinya ya Pak lurah engga goblok-goblok amat perihal agama Jang. Pak lurah hanya menguji pengetahuan dirimu dan tanggapanmu saja tentang desa kita ini. Kalau kamu kira Bapak takut, iya Bapak sebenarnya takut, hanya saja untuk apa ketakutan-ketakutan itu tidak dipendam, harusnya kan dilawan, yang angkuh saja akan hilang apalagi yang baik-baik kepribadiannya pasti akan hilang juga.”

Dan Ujang makin bingung, setelah tahu bahwa Pak lurah lulusan pesantren. Memang benar adanya bahwa Pak lurah pintar mengaji, dia juga jago berpidato, bicara dihadapan orang banyak, itu semua karena dia mendapatkannya ketika menjadi seorang santri.

“Aih, kok Ujang tidak sadar ya Pak lurah ternyata santri, kok engga kasih tahu Ujang Pak?”

“Kenapa Bapak harus bicara bahwa Pak lurah Deden santri, terus dipanggil ustadz, dengan menghargai saya maka kalian akan masuk surga. Tidak juga kan, nanti takutnya riya, penyakit hati timbul, jadinya Pak lurah jemawa.”

“Intinya Bapak ini sudah berjuang untuk kampung kita, dan kenapa Bapak bisa dekat dengan anak-anak bangor, karena Bapak tahu bagaimana cara mengatasi mereka.”

Belum selesai bicara, omongan Pak lurah dipotong oleh Ujang. Sementara itu si Aki yang tengah bersandar, akhirnya pulas tertidur juga, dengan tangan sebagai bantalnya, dan sarung sebagai selimutnya.

“Wuihh alus euy, mantap Pak lurah nih, terus bagaimana atuh?”

“Hmm si Aki udah tidur, pantas tidak ada suaranya daritadi.”

“Ih ari kamu mah kumaha Jang, jangan potong-potong kalau orangtua lagi bicara. Jadi lupa kan Bapak sampai mana tadi ya?”

Eleuh si Aki juga sudah tidur, tunduh pisan* kayanya mah. Terlalu banyak begadang.”

Pak lurah mengeluarkan rokoknya lagi sebatang, sedangkan si Ujang tengah mengatasi bagaimana cara menghilangkan nyamuk-nyamuk yang ada di tangannya.

“Itu Pak sampai cara mengatasi.”

Menjawab dengan nada pelan dan mata yang sayup-sayup. Karena saat mereka asyik ngobrol, jam dinding di gubuk menunjukkan pukul 3 pagi.

“Oiya sampai cara mengatasi ya Jang. Kamu masih kuat?”
“Sudah jam 3 pagi ini loh.”

Pak lurah sambil kelebat-kelebut dengan rokoknya.

“Masih Pak, hanya sedikit perih ini mata saya.”

“Ya sudah, pada intinya begini Jang. Zaman sudah berbeda, pemikiran setiap orang juga pastinya berbeda juga, yang paling utama adalah hati mereka Jang. Kalau kamu bisa dekati hati mereka, mereka akan ikuti kamu, kemauanmu.”

“Kamu tahu orang yang pacaran?”

“Sedikit tahu Ustadz, eh Pak lurah.”

“Bagaimana?”

“Iya gitu Pak..”

“Engga tahu lah Pak, Tunduh ieu Pak, jadinya kurang fokus.”

“Ah kamu mah. Begini Jang orang yang pacaran itu cenderung mengikuti apa yang pasangannya mau, dia mau ini dituruti, dia mau itu dituruti. Itu karena apa Jang?”

“Karena mereka sama-sama cinta Pak.”

“Pintar, karena sama-sama cinta. Dan cinta itu tumbuh dari adanya kontak antara hati dengan hati yang cocok, saklek*, sudah sesuai dengan hatinya. Coba kalo engga sesuai pasti engga jadi kabogoh* begitu, Jang.”

“Begitupula berdakwah Jang, dakwah yang sekarang paling cocok itu adalah dakwah bil hikmah. Dakwah yang dilandaskan dengan asas-asas kedamaian dan penuh cinta, tidak menyalahkan bahwa kamu buruk, kamu sesat, dan kamu memvonis orang tersebut masuk neraka. Bagaimana urusannya kamu mengaku paling benar, sedangkan kebenaran saja kamu tidak punya. Bukankah agama islam dan agama-agama lainnya mengajarkan kasih sayang, mengajarkan kebaikan, hanya oknum-oknum saja yang merusak citra agama.”

“Karena dengan kamu melakukan dakwah bil hikmah tersebut, orang-orang desa ini pasti akan tertarik dan ingin mengenal agama islam sendiri, yang mana agama tersebut adalah warisan Kyai-kyai disini. Coba kamu berdakwah dengan gayamu sendiri namun dengan pendekatan dari hati kehati. Kamu tidak perlu pakai gamis, teriak-teriak dalil di depan mereka, tidak perlu!”

“Berpakaianlah seperti orang biasa saja, seperti orang mau ke sawah. Nah dari situ mulailah kamu berdakwah kerumah-rumah. Ngobrol biasa saja seperti kita ini. Tidak usah bawa dalil dulu, yang ada mereka kabur. Salah satunya dengan perilakumu kepada mereka saja itu merupakan dakwah bil hikmah, memanusiakan-manusia saja sudah masuk dalam cakupannya.”

Sementara Pak lurah asyik berbicara sambil menghisap sekali dua kali rokoknya, Ujang hanya mengangguk-angguk dan matanya kali ini terlihat lebih segar dari sebelumnya. Apa karena ia tidak mengerti atau sudah tak ingin mendengarkan Pak lurah berkhotbah, dirinya nampak lebih segar.
“Oke Pak lurah saya akan menyebarkan cinta ke seluruh desa ini, mendakwahkan islam tanpa harus menjelekkan orang lain.”

Yang ditakutkan dari Ujang sendiri begini Pak, takut ada orang yang membenci Ujang, takut ada yang tidak senang pada Ujang. Dari situ malah nantinya, yang menyebabkan pahala Ujang berkurang, dan dosa mereka malah berbalik ke Ujang.”

“Konsekuensinya berdakwah memang begitu, Kanjeng Nabi saja malah ditimpuki caduk, runtah,* dan lainnya, tapi apa? Kanjeng Nabi ikhlas dan sabar. Disitulah kuncinya,  Jang.”

“Masuk surga itu tidak hanya pakai ibadahmu dan pahalamu saja, tapi masuk surga itu menggunakan ridho Allah, Jang. Kalo Allah tidak ridho kamu masuk surga bagaimana?”

“Hanya karena hal sepele, kamu menyimpan dendam dan merasa dirimu paling baik dari seorang janggol*, padahal janggol masuk sorga karena memberi minum anjing yang kehausan. Dan ada seorang yang ahli tahajjud malah masuk neraka, karena dirinya lupa memberi makan kucing peliharaannya, karena ia saking khusunya beribadah.”

“Sejatinya dakwah bil hikmah itu tidak hanya kita sematkan kepada manusia saja, tetapi semua makhluk yang ada di alam ini dan di alam yang tidak bisa kita lihat. Sematkanlah cinta dari setiap hidupmu, setiap hembusan nafasmu, karena sebaik-baiknya cinta itu adalah kita yang selalu ikhlas terhadap apa yang Allah berikan kepada kita Jang.”

Ujang nampak terlihat senyum-senyum mendengar penjelasan Pak lurah, yang di duganya hanya seorang lurah yang tak paham agama. Ternyata kenyataanya Lurah Deden adalah seorang santri, yang juga adalah anak seorang Kyai. Almarhum Abahnya, adalah seorang Kyai terkenal di daerah Jawa Tengah.

“Masya Allah Ustadz Deden, Ujang mau berguru deh sama Bapak. Ahlul hikmah yang sangat tawadhu ini.”

Ujang tertawa kecil sedangkan Pak lurah hanya senyum sambil membuka kemejanya.

“Sebentar, Bapak lepas kemeja dulu, Jang”

“Bapak ini bukan guru Jang, Bapak tidak pantas mengguruimu Jang, nanti ngajari yang sesat ke kamu lagi.”

“Sudah tidur-tidur, besok kerja engga kamu?”

Sambil menaruh kemejanya di pinggiran gubuk.

“Ah Ustadz bisa aja nih. Da saya kan PENGACARA Pak!”

Ujang tertawa-tawa sambil telentang 

“Hush pengacara naon?”

“Pengangguran banyak acara, Pak...”

Ujang menjawab dengan tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Pak lurah hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Sedangkan si Aki Bonar sudah tidak tahu kemana jalan arwahnya, sudah pulas sekali tidurnya.

.Diadaptasi dari ceramah Cak Nun

.Diadaptasi dari kisah seorang pelacur yang masuk surga dan seorang ahli tahajjud yang masuk neraka


*Gogoleran = tidur-tiduran atau sekadar rebahan
*Sok mangga = iya silahkan
*Tumila = kutu busuk, sifatnya merugikan
*Jurig = hantu
*Balong = kolam besar biasanya berisi ikan
*Lohong = anak nakal, susah diatur
*Acis = uang
*Tunduh pisan = mengantuk sekali, mengantuk berat
*Caduk = kotoran
*Runtah = sampah
*Janggol = Pelacur

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan pandang

Resume Buku "Robohnya Dakwah di Tangan Da’i"

Nikmatnya Menghafal