Yang Angkuh Akan Hilang, Yang Baik Juga Hilang
Yang Angkuh Akan Hilang
Yang Baik Juga Hilang
Oleh : Haekal Syarief
Seperti
biasa malam menjelang pagi sekali beliau menyapu teras masjid, padahal belum
sama sekali terdengar suara ayam berkokok. Matanya memang selalu terjaga
orang-orang menyebutnya si mata elang. Nama aslinya Pak Ahmad Bonar Nasution,
masyarakat sekitar biasa memanggilnya Aki Bonar. Beliau orang Medan asli, hanya
saja beliau dan keluarga merantau ke Ciamis 20 tahun yang lalu. Beliau memang
dikenal warga seorang yang tak kenal tidur, kadang ia begadang sambil
membersihkan sekitaran masjid, dan kadang sekadar ngobrol-ngobrol santai
bersama warga desanya.
Dan
saat itu malam makin larut, Ujang yang hanya duduk-duduk bersama Pak lurah
Deden di gubuk sebelah masjid, tidak melihat aktifitas yang biasa dilakukan Aki
Bonar. Padahal di jam-jam ini Aki Bonar sibuk membersihkan seputaran masjid.
“Pak,
tumben ya Aki Bonar gak keliatan, biasanya mah beliau yang paling rajin nyapu-nyapu
sekitaran masjid.”
“Da
iya ya jang, si aki gak keliatan, kemana atuh ya, sakit kali, atau dia
lagi lelah mungkin, sembari rebahan di tempat marbot biasanya. Coba kamu cek
Jang siapa tahu si Aki disitu!”
“Coba
bentar Ujang cek dulu Pak, kali aja lagi gogoleran* disana si aki, atau gak
lagi ngopi kali Pak! , hehehe.”
“Iya
sok mangga* Jang!”
Ujang
akhirnya mengecek ke tempat marbot, biasanya Aki Bonar ada disana. Padahal
matanya sudah 5 watt, redup dan badan juga loyo. Tetapi Ujang tetap memaksakan
diri mencari Aki Bonar.
“Disamping
kebun duh ngeri ada jurig aja ini mah, duh ini si Aki kemana lagi ya!”
“Ki...
Aki?”
Ujang
mencoba mengetuk pintu tempat marbot tidur
Tok..
tok... tok
“Ada
orang di dalam?”
Gluprak
Bunyi
barang-barang jatuh didalam tempat marbot.
“Aduh
gusti aya naon eta?”
Ujang
kaget dan panik berlari kesamping
“Aduh
kirain mah apa atuh, panci bolong, sama sepatu butut, haduh-haduh”
“Ini
Aki kemana ya, kalau tidak ada disini pasti dirumahnya.”
Dan
pada akhirnya Ujang tidak menemukan Aki Bonar disana. Malam semakin sunyi,
jangkrik-jangkrik dan bunyi tonggeret* yang nyaring sekali, ditambah
pohon pisang yang menari-nari ditiup angin, menambah bulu kuduk merinding.
Sedang asyik jalan Ujang pun dikejutkan dari belakang, suaranya seperti Aki
Bonar.
“Astagfirullah,
Aki ngagetin aja, untung Ujang tidak jantungan, Ki!”
“Darimana
aja Aki?, Ujang cari di belakang tempat marbot tidak ada, disana juga,
keliling-keliling, tahu-tahu Ujang di kageti dari belakang.”
Ujang
terlihat kaget dan tidak tahu harus bicara apalagi. Sedangkan Aki Bonar malah
senyum-senyum melihat Ujang yang kaget tadi.
“Aki
disini Jang, kalau habis bersih-bersih Aki disini, sedang membayangkan saja
nasib orang-orang di desa disini 5 tahun kedepan gimana ya?”
“Sedangkan
Aki yang bukan asli dari tanah ini saja miris melihat keadaan masyarakat yang
sudah jauh dari nilai-nilai leluhurnya Jang!”
Aki
Bonar berdiri disamping Ujang sambil menceritakan masa lalunya.
“Ujang
kira, Aki lagi tidak enak badan atau sakit, eh tau-tau di sini.”
Ujang
menggaruk-garuk kepalanya.
“Ya
memang ada benarnya omongan Aki tadi, Ujang juga merasa suasananya sudah
berbeda dari tahun ke tahun, padahal mah ya, desa ini adem ayem aja ya Ki!”
“Begitulah
Ujang, padahal Aki yang bukan masyarakat sunda asli disini sangat kecewa dengan
kedatangan Romo Ageng Saepuddin itu, dia memberikan pengaruh buruk pada
masyarakat di desa ini, apabila kekuasaan dia rebut dan naik menggantikan lurah
Deden, sudah dipastikan kampung ini sudah tiada Jang...”
Setelah berbicara ngalor ngidul
Ujang mengajak Aki Bonar ke gubuk samping masjid, sembari menunggu sahur tiba
dengan Pak lurah Deden yang mungkin sudah lama menunggu disana.
“Aduh
si Ujang lama sekali itu anak kemana ya, mana banyak nyamuk begini, haduh
ampun-ampun.”
Pak
lurah melihat di kejauhan ada Aki Bonar dan Ujang yang sedang jalan menuju
gubuk itu.
Aki
menunjuk kearah gubuk, disana ada Pak lurah yang menunggu sambil diserang
nyamuk.
“Itu
Pak lurah kasihan Ki, nunggu Ujang kayanya mah Ki, mana tadi Ujang belum beli
obat nyamuk di warung Ceu Lilis.”
Ceu
Lilis sendiri merupakan bibinya Ujang yang terkenal sebagai kembang desa.
Kecantikannya yang tidak pernah padam, padahal dia adalah seorang janda yang
belum dikaruniai anak, ia ditinggal mati suaminya akibat kecelakaan kerja.
Dengan kecantikannya juga menjadikan warungnya selalu ramai dikunjungi pembeli.
Hanya sekadar merokok dan ngopi-ngopi saja.
“Haduh
kebiasaan kamu mah Jang, sudah tahu banyak nyamuk di gubuk itu, segala tidak
bawa obat nyamuk, kasihan itu lihat Pak lurah habis digigiti nyamuk.”
Aki
Bonar tertawa-tawa.
Kemudian
Pak lurah meneriaki Ujang dari gubuk itu.
“Hei
buru kesini atuh Ujang, ai kamu kemana saja sih lama sekali, kamu
bawa obat nyamuk tidak, Jang?, banyak nyamuk daritadi haduh ampun... ampun,
Jang.”
Pak
lurah sibuk menggaruk-garuk tangannya yang digigiti nyamuk.
“Aduhh
Ujang lupa ke warung Ceu Lilis Pak, ya sudah lah biar saja, hehehe, itung-itung
sedekah sama nyamuk, Pak!”
“Ya
sudah lah Jang mau bagaimana lagi, Ceu Lilis juga sudah tidur kali.”
Mereka
bertiga akhirnya membicarakan perihal keadaan desa Kedah Tiung. Semenjak
datangnya Romo Ageng Saepuddin, masyarakat desa mendadak berubah drastis, dengan
dimulai perubahan akhlak mereka. Masyarakat desa yang tadinya ramah-tamah
terhadap sesama, baik orang lama maupun pendatang, tapi sekarang mereka semua
malah saling curiga dan memfitnah. Selain itu warga desa yang dahulunya
terkenal sangat agamis, berubah perlahan akibat ulah kaki tangan Romo Ageng
Saepuddin sendiri. Mereka sengaja menjauhkan masyarakat desa dari agama-agama
yang mereka anut, masjid-masjid perlahan-lahan dihancurkan, hanya beberapa yang
tersisa, salah satunya yang dijaga oleh Aki Bonar. Sebab kaki tangan Romo Ageng
Saepuddin tidak berani menghancurkannya, karena Aki Bonar sendiri sering
terjaga di malam hari, itu yang menyebabkan kaki tangannya tidak berani
bergerak.
“Eh
Aki, apa kabar?, saya kira Aki téh
sakit, makannya tidak kelihatan dari tadi, biasanya kan Aki nyapu-nyapu masjid,
makannya saya suruh si Ujang cari ke belakang.”
Sambil
menepuk pundak Ujang.
“Baik
Alhamdulillah Den, iya Aki memang suka dibelakang, kan ada gubuk kecil juga dibelakang masjid, sengaja Aki buat
untuk sekadar duduk dan merenungi nasib Aki sendiri, keadaan kita, keadaan desa
kita Den, kamu merasa pasti ada yang berbeda di Desa kita ini kan?”
Aki
Bonar menjawab pertanyaan dengan nama aslinya Pak lurah yaitu Deden, sambil
senyum-senyum. Dan menanyakan kepada Pak lurah apakah kampung berbeda dari
sebelumnya.
“Iya
Pak lurah pasti tahu lah, itu akibat kedatangan Romo Saepuddin sialan itu Pak!,
Ujang juga udah kesel ngeliat tingkahnya Romo itu, ampun Gusti Nu Agung!”
Ujang
menyela pertanyaan Aki Bonar untuk Pak lurah.
“Iya
memang benar Ki... Jang, saya sendiri sengaja menyembunyikan ini dari kalian.
Sebenarnya kaki tangan Romo Saepuddin itu sudah beberapa kali memaksa masuk ke
kantor lurah, tidak jelas apa maksudnya. Untungnya saya tidak ada di kantor,
mungkin kalau saya disana mungkin sudah diseret ke istananya Romo kali. Tapi
memang ada omongan dari hansip sekitar kantor, Romo Saepuddin ingin
melengserkan saya, dia ingin mengubah tatanan desa ini menjadi perkotaan dengan
kasino dan tempat prostitusi.”
Pak
lurah menjelaskan, raut wajahnya berubah, Pak lurah membuka peci, sambil
mengipas-ngipas.
“Iya
benar Den, Aki sendiri sebenarnya juga ingin bilang ini ke kamu dan Ujang, tapi
kalian sendiri malah sibuk dengan kegiatan duniawi masing-masing. Memang
semenjak datangnya si Saepuddin itu ke desa kita ini, Aki sudah tidak senang
dengan tingkah lakunya, yang sok kaya, sombongnya sudah kelewatan, dan yang Aki
sesalkan dia juga tidak punya sopan santun terhadap orang yang lebih tua.”
“Memang
Kenapa Aki?”
“Aki
dijahati mereka?”
Ujang
menyela pembicaraan Aki Bonar.
“Kemarin
Aki sedang menyapu masjid saja, dia bersama kaki tangannya lewat tanpa permisi
dan meludahi Aki begitu saja, Den... Jang.”
Aki
mencoba menjelaskan kepada Ujang dan Pak lurah dengan nafas yang
terengah-engah.
“Wah,
bener-bener sudah keterlaluan itu mah, kalau Ujang ada di TKP, Ujang ajakin gelut,
baku hantam. Kita memang harus menyingkirkan si tumila* itu dari desa ini.
Sebab bibit kejahiliahan sudah menyebar ke penjuru desa kita, masyarakat desa
sedikit sudah jauh dari agama dan ingin membuat tempat prostitusi di sini.
Baiknya kita cegah Pak lurah... Ki Bonar...”
Ujang
nampak kesal
“Memang
ada baiknya begitu Jang, da tapi kan Pak lurah cuma punya dua tangan,
kalau mengatasi ini sendirian Pak lurah juga bakal musnah dari sini, butuh
bantuan beberapa warga yang masih sadar akan agama, bantuan kamu dan Aki Bonar
juga. Ditambah lagi dia juga sudah mengancurkan masjid-masjid desa untuk
perluasan tanahnya, ini akibat warga yang sudah tergiur dengan uang besar yang
diberikan si Saepuddin, memang uang lah bisa berkuasa atas segala-galanya,
sampai-sampai agama pun rela dijualnya, mereka dari kita banyak yang berdusta.
Mengatakan bahwa dirinya menuhankan Allah Gusti Pangeran nu Agung, Tapi apa?
Kenyataanya mereka menuhankan uang-uang di kantong Saepuddin sinting itu.”
Pak
lurah tetap menunjukkan raut wajah yang sama dan kali ini dengan raut yang
lebih serius. Sedangkan Ujang masih menggebu-gebu ingin bertemu dengan Romo
Ageng Saepuddin.
“Aki
sendiri juga tidak tahu apakah yang akan terjadi nantinya, Aki sendiri sudah
tua... sudah sakit-sakitan terus, kamu yang harus menjadi tonggak di desa ini
Jang!”
“Anak
muda yang harus bergerak. Mungkin di desa ini hanya kamu yang masih sedikit
benar Jang, coba lihat teman-temanmu. mereka sibuk berbuat maksiat.”
Pak
lurah sudah siap dengan kretek dan koreknya, sementara si Ujang asyik
mendengarkan Aki sambil menggaruk-garuk badannya karena di gubuk itu banyak
sekali nyamuknya.
“Iya
benar Akii... Pak lurah!”
Ujang
menimpali dengan semangat pernyataan Aki Bonar.
“Kamu
sebenarnya yang jadi penerus di kampung ini, Aki sudah tua, Pak lurah juga
belum tahu bagaimana nasibnya nanti, dibanding temen-temenmu yang lohong*,
kamu yang masih lurus Jang, kamu harapan desa ini.”
Jawab
Aki Bonar yang sedang senderan pada dinding gubuk.
“Tapi
begini Ki..Pak, Ujang rada takut tak punya banyak keberanian untuk melakukan
ini semua.”
Lalu
Pak lurah yang kelebat-kelebut dengan kreteknya akhirnya menimpali Ujang.
“Loh
kamu takut?, aduh ari kamu mah Jang... Jang.”
“Apa
yang kamu takutkan, tidak dapat acis*, tidak dapat pekerjaan?”
Pak
lurah terus menghisap kreteknya.
“Bukan
Pak lurah, bukan begitu, yang saya takutkan Allah tidak ridho sama apa yang
Ujang kerjakan ini nantinya. Dengan Ujang menceramahi mereka pakai dalil-dalil
tidak mempan Pak, yang ada dikeroyok mereka karena menganggap saya sok suci,
merasa diri paling benar bukannya di Al-Qur’an melarang kita begitu, Pak?”
Aki
tetap bersandar di dinding dan nampaknya sudah mengantuk mendengarkan omongan
si Ujang dan Pak lurah. Sedangkan Pak lurah asyik menikmati sebatang kretek
yang tidak kunjung habis.
“Hehehe,
benar kan apa yang Pak lurah bilang tadi. Kamu ini masih punya ketakutan, buat
apa kamu takut?, lah yang angkuh saja akan hilang lantas bagaimana yang baik?”
“Kamu
punya kebaikan ya ajarkan, sebarkan, walaupun sebesar biji jarah, bukan begitu
Jang?”
Ujang
mulai menunjukkan raut berbeda dari sebelumnya, mukanya cemas tidak
menggebu-gebu seperti membicarakan Saepuddin.
“Tapi
Pak..”
Ujang
mencoba menyela.
“Tidak
usah pakai tupa tapi Jang, kerjakan laksanakan, sami’na wa atho’na.”
“Masih
mau diam? Kamu punya pengaruh besar sebenarnya disini Jang, Aki dan saya pasti
mendukung kamu.”
Pak
lurah sambil melihat jam tangannya, tangannya juga mulai bentol-bentol akibat
diserang nyamuk malam ini. Sementara Aki Bonar masih tidak banyak bicara masih
saja sandaran sambil selimutan dengan kain sarung yang dipakainya.
“Cara
yang tepat apa Pak lurah?, kalau hanya nyerocos agama yang ada mereka
menghindar duluan Pak, bingung sendiri saya juga.”
Pak
lurah membuang puntung rokoknya, dan merapihi pakaiannya lagi. Sedang si Ujang
masih nampak kebingungan.
“Ah
kamu ini Jang lulusan pesantren masa engga paham masalah metode dakwah beginian
Jang, ampun-ampun. Kamu tidur terus sih kalau kyai sedang menerangkan beberapa
bab.”
Pak
lurah tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Ujang masih kebingungan terhadap
pernyataan Pak lurah. Disana Aki Bonar hanya senyum-senyum saja.
“Ai
Pak lurah kumaha da Ujang mah Pondokannya fokus dalam membahas kitab dan
mendalami makna Al-Qur’an saja, tidak memfokuskan pada metode dakwahnya Pak!”
Ujang
mencoba menjawab pernyataan Pak lurah, sedangkan Pak lurah masih tertawa-tawa.
“Halah,
kamu ngeles aja, Jang.”
“Aduh
begini-begini Pak lurah juga pernah mondok bahkan lingkungan Bapak, lingkungan
Kyai dan teman-teman Bapak, Gus semua rata-rata Jang. Jadinya ya Pak lurah
engga goblok-goblok amat perihal agama Jang. Pak lurah hanya menguji
pengetahuan dirimu dan tanggapanmu saja tentang desa kita ini. Kalau kamu kira
Bapak takut, iya Bapak sebenarnya takut, hanya saja untuk apa
ketakutan-ketakutan itu tidak dipendam, harusnya kan dilawan, yang angkuh saja
akan hilang apalagi yang baik-baik kepribadiannya pasti akan hilang juga.”
Dan
Ujang makin bingung, setelah tahu bahwa Pak lurah lulusan pesantren. Memang
benar adanya bahwa Pak lurah pintar mengaji, dia juga jago berpidato, bicara
dihadapan orang banyak, itu semua karena dia mendapatkannya ketika menjadi
seorang santri.
“Aih,
kok Ujang tidak sadar ya Pak lurah ternyata santri, kok engga kasih tahu Ujang
Pak?”
“Kenapa
Bapak harus bicara bahwa Pak lurah Deden santri, terus dipanggil ustadz, dengan
menghargai saya maka kalian akan masuk surga. Tidak juga kan, nanti takutnya
riya, penyakit hati timbul, jadinya Pak lurah jemawa.”
“Intinya
Bapak ini sudah berjuang untuk kampung kita, dan kenapa Bapak bisa dekat dengan
anak-anak bangor, karena Bapak tahu bagaimana cara mengatasi mereka.”
Belum
selesai bicara, omongan Pak lurah dipotong oleh Ujang. Sementara itu si Aki
yang tengah bersandar, akhirnya pulas tertidur juga, dengan tangan sebagai
bantalnya, dan sarung sebagai selimutnya.
“Wuihh
alus euy, mantap Pak lurah nih, terus bagaimana atuh?”
“Hmm
si Aki udah tidur, pantas tidak ada suaranya daritadi.”
“Ih
ari kamu mah kumaha Jang, jangan potong-potong kalau orangtua lagi
bicara. Jadi lupa kan Bapak sampai mana tadi ya?”
“Eleuh
si Aki juga sudah tidur, tunduh pisan* kayanya mah. Terlalu banyak
begadang.”
Pak
lurah mengeluarkan rokoknya lagi sebatang, sedangkan si Ujang tengah mengatasi
bagaimana cara menghilangkan nyamuk-nyamuk yang ada di tangannya.
“Itu
Pak sampai cara mengatasi.”
Menjawab
dengan nada pelan dan mata yang sayup-sayup. Karena saat mereka asyik ngobrol,
jam dinding di gubuk menunjukkan pukul 3 pagi.
“Oiya
sampai cara mengatasi ya Jang. Kamu masih kuat?”
“Sudah
jam 3 pagi ini loh.”
Pak
lurah sambil kelebat-kelebut dengan rokoknya.
“Masih
Pak, hanya sedikit perih ini mata saya.”
“Ya
sudah, pada intinya begini Jang. Zaman sudah berbeda, pemikiran setiap orang
juga pastinya berbeda juga, yang paling utama adalah hati mereka Jang. Kalau
kamu bisa dekati hati mereka, mereka akan ikuti kamu, kemauanmu.”
“Kamu
tahu orang yang pacaran?”
“Sedikit
tahu Ustadz, eh Pak lurah.”
“Bagaimana?”
“Iya
gitu Pak..”
“Engga
tahu lah Pak, Tunduh ieu Pak, jadinya kurang fokus.”
“Ah
kamu mah. Begini Jang orang yang pacaran itu cenderung mengikuti apa yang
pasangannya mau, dia mau ini dituruti, dia mau itu dituruti. Itu karena apa
Jang?”
“Karena
mereka sama-sama cinta Pak.”
“Pintar,
karena sama-sama cinta. Dan cinta itu tumbuh dari adanya kontak antara hati
dengan hati yang cocok, saklek*, sudah sesuai dengan hatinya. Coba kalo
engga sesuai pasti engga jadi kabogoh* begitu, Jang.”
“Begitupula
berdakwah Jang, dakwah yang sekarang paling cocok itu adalah dakwah bil
hikmah. Dakwah yang dilandaskan dengan asas-asas kedamaian dan penuh cinta,
tidak menyalahkan bahwa kamu buruk, kamu sesat, dan kamu memvonis orang
tersebut masuk neraka. Bagaimana urusannya kamu mengaku paling benar, sedangkan
kebenaran saja kamu tidak punya. Bukankah agama islam dan agama-agama lainnya
mengajarkan kasih sayang, mengajarkan kebaikan, hanya oknum-oknum saja yang
merusak citra agama.”
“Karena
dengan kamu melakukan dakwah bil hikmah tersebut, orang-orang desa ini
pasti akan tertarik dan ingin mengenal agama islam sendiri, yang mana agama
tersebut adalah warisan Kyai-kyai disini. Coba kamu berdakwah dengan gayamu
sendiri namun dengan pendekatan dari hati kehati. Kamu tidak perlu pakai gamis,
teriak-teriak dalil di depan mereka, tidak perlu!”
“Berpakaianlah
seperti orang biasa saja, seperti orang mau ke sawah. Nah dari situ mulailah
kamu berdakwah kerumah-rumah. Ngobrol biasa saja seperti kita ini. Tidak usah
bawa dalil dulu, yang ada mereka kabur. Salah satunya dengan perilakumu kepada
mereka saja itu merupakan dakwah bil hikmah, memanusiakan-manusia saja
sudah masuk dalam cakupannya.”
Sementara
Pak lurah asyik berbicara sambil menghisap sekali dua kali rokoknya, Ujang
hanya mengangguk-angguk dan matanya kali ini terlihat lebih segar dari
sebelumnya. Apa karena ia tidak mengerti atau sudah tak ingin mendengarkan Pak
lurah berkhotbah, dirinya nampak lebih segar.
“Oke
Pak lurah saya akan menyebarkan cinta ke seluruh desa ini, mendakwahkan islam
tanpa harus menjelekkan orang lain.”
Yang
ditakutkan dari Ujang sendiri begini Pak, takut ada orang yang membenci Ujang,
takut ada yang tidak senang pada Ujang. Dari situ malah nantinya, yang
menyebabkan pahala Ujang berkurang, dan dosa mereka malah berbalik ke Ujang.”
“Konsekuensinya
berdakwah memang begitu, Kanjeng Nabi saja malah ditimpuki caduk, runtah,*
dan lainnya, tapi apa? Kanjeng Nabi ikhlas dan sabar. Disitulah kuncinya, Jang.”
“Masuk
surga itu tidak hanya pakai ibadahmu dan pahalamu saja, tapi masuk surga itu
menggunakan ridho Allah, Jang. Kalo Allah tidak ridho kamu masuk surga
bagaimana?”
“Hanya
karena hal sepele, kamu menyimpan dendam dan merasa dirimu paling baik dari
seorang janggol*, padahal janggol masuk sorga karena memberi minum
anjing yang kehausan. Dan ada seorang yang ahli tahajjud malah masuk neraka,
karena dirinya lupa memberi makan kucing peliharaannya, karena ia saking
khusunya beribadah.”
“Sejatinya
dakwah bil hikmah itu tidak hanya kita sematkan kepada manusia saja,
tetapi semua makhluk yang ada di alam ini dan di alam yang tidak bisa kita
lihat. Sematkanlah cinta dari setiap hidupmu, setiap hembusan nafasmu, karena
sebaik-baiknya cinta itu adalah kita yang selalu ikhlas terhadap apa yang Allah
berikan kepada kita Jang.”
Ujang
nampak terlihat senyum-senyum mendengar penjelasan Pak lurah, yang di duganya
hanya seorang lurah yang tak paham agama. Ternyata kenyataanya Lurah Deden
adalah seorang santri, yang juga adalah anak seorang Kyai. Almarhum Abahnya,
adalah seorang Kyai terkenal di daerah Jawa Tengah.
“Masya
Allah Ustadz Deden, Ujang mau berguru deh sama Bapak. Ahlul hikmah yang
sangat tawadhu ini.”
Ujang
tertawa kecil sedangkan Pak lurah hanya senyum sambil membuka kemejanya.
“Sebentar,
Bapak lepas kemeja dulu, Jang”
“Bapak
ini bukan guru Jang, Bapak tidak pantas mengguruimu Jang, nanti ngajari yang
sesat ke kamu lagi.”
“Sudah
tidur-tidur, besok kerja engga kamu?”
Sambil
menaruh kemejanya di pinggiran gubuk.
“Ah
Ustadz bisa aja nih. Da saya kan PENGACARA Pak!”
Ujang
tertawa-tawa sambil telentang
“Hush
pengacara naon?”
“Pengangguran
banyak acara, Pak...”
Ujang
menjawab dengan tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Pak lurah hanya geleng-geleng
kepala mendengarnya. Sedangkan si Aki Bonar sudah tidak tahu kemana jalan
arwahnya, sudah pulas sekali tidurnya.
.Diadaptasi
dari ceramah Cak Nun
.Diadaptasi
dari kisah seorang pelacur yang masuk surga dan seorang ahli tahajjud yang
masuk neraka
*Gogoleran
= tidur-tiduran atau sekadar rebahan
*Sok
mangga = iya silahkan
*Tumila
= kutu busuk, sifatnya merugikan
*Jurig
= hantu
*Balong
= kolam besar biasanya berisi ikan
*Lohong
= anak nakal, susah diatur
*Acis
= uang
*Tunduh
pisan = mengantuk sekali, mengantuk berat
*Caduk
= kotoran
*Runtah
= sampah
*Janggol
= Pelacur
mantap a masyaaAllah...
BalasHapus