Menuju 2019 : Napak Tilas Konstelasi Pemerintah Sebelumnya
Menuju 2019 : Napak Tilas Konstelasi Pemerintah Sebelumnya
Oleh : Abdul Hanif Al Islami
Mahasiswa UNJ 2017
Tahun 2014
silam, konstelasi politik menarik perhatian publik. Dua pasangan dengan track
record yang berbeda maju untuk saling menyikut tanpa mengutuk, tapi pastinya
akan ada salah satu yang bertekuk lutut. Hasilnya, keberuntungan menyelimuti
kubu 2 jari kala itu, riuh gemuruh menyambut bapak Jokowi merangkak naik tahta
tertinggi, masyarakat menyeruak berharap dengan wajah blusukannya dapat
merakyat.
MEA,
menjadi ajang pembuktiannya dalam mengangkat persentase ekonomi, katanya. KJP, KIS, KIP merupakan kartu
sakti Jokowi yang terbukti membuat sendi-sendi pendidikan dan kesehatan semakin
sakit, menolak lupa dengan tragedi Asmat. MRT, dan LRT ground breaking
ternamanya tak kunjung rampung. Kasus air keras Novel Baswedan adalah sinyal hukum dan
keadilan lenyap dari koridornya.
Namun itu
hanya rentetan cerita panjang kebobrokan hukum, kehancuran ekonomi, dan carut
marutnya pendidikan.
Pembangunan jalan tol ribuan kilometer dengan sederet kasus kematian pekerja
dan ambruknya infrastruktur menjadi noda melekat yang terlihat. Impor sana
sini, garam, beras bahkan ikan pun turut menjadi komoditas di dalamnya. Lumrah atau kitanya yang sering
tidak membaca? Entah
dengan alasan apa kita punya garis pantai yang sangat panjang dan salah satu
negara agraris dengan lahan pertanian terluas. Mungkin ini siasatnya dalam
membayar utang panas yang semakin jauh dari kata lunas.
Deadlock pemerintah dengan oposisi dalam
segala aspek kehidupan adalah konduktor dari panasnya suhu permukaan bumi
Indonesia. Seiring berjalannya waktu, pergolakan politik seakan menjadi problem
sentral yang tak kunjung usai, hegemoni rezim atas kaum-kaum oposisi (yang
dianggapnya) memanas tak kunjung reda. Di tengah kemajuan era globalisasi yang
destruktif, Jokowi seakan membuka ruang bagi TKA di tengah kesempitan lapangan
kerja untuk TKL dengan menerbitkan Perpres no 20 tahun 2018 tentang penggunaan
TKA. Compang-camping
baju buruh terkena sinar terik tak kunjung jua pemerintah memberi rasa empatik,
justru dengan taktik yang menggelitik membuat buruh semakin tak berkutik.
Aksi 411 dan 212 adalah salah satu peristiwa
yang mengindikasikan bahwa pihak istana tidak berani mengambil sikap atas
kejadian yang disinyalir sebagai penodaan terhadap salah satu agama. Terlalu
lama masalah ini dikonsumsi tapi tak berujung solusi malah hanya sebatas basa
basi, lalu timbul dalam benak masyarakat yang terkontruksi bahwa salam 2 jari
tak selamanya memiliki arti. Dikotomi antara nasionalis dan agamis sepertinya
nampak jelas dalam kehidupan politik praktis.
Permasalahan-permasalahan
itu kini menghilir pada resahnya, timbulnya hastag #2019gantipresiden dan #arahbaruindonesia,
serta deklarasi
Gerindra atas Prabowo adalah sah menurut konstitusional, tidak perlu
didiskreditkan bahkan dipermasalahkan. Ketika 2019 datang, saatnya saya, anda, dan kita semua punya
kesempatan untuk kembali memilih siapakah yang pantas duduk di pangkuan istana?
Apakah Jokowi
sebagai petahana atau #2019gantipresiden? Kita tunggu saja sambil berdoa semoga
Allah SWT berkenan mengabulkan doa kita di 2019 nanti.
Referensi:
Infrastruktur (http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/04/18/p7djuj382-16-proyek-infrastruktur-ambruk-ipw-polisi-harus-serius)
Impor Beras (https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/16/161052826/begini-perjalanan-impor-beras-indonesia-sejak-tahun-2000-hingga-2018)
Impor Garam (https://regional.kompas.com/read/2018/02/09/19594001/protes-impor-garam-petani-dan-mahasiswa-beralasan-stoknya-melimpah)
Impor Ikan (https://tekno.kompas.com/read/2012/09/18/20084082/masalah.impor.ikan.melibatkan.banyak.kementerian)
Perpres
(http://m.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/04/12/p72tpv396-mempertanyakan-efektivitas-perpres-202018)
Komentar
Posting Komentar