RAMADHAN : MENEGUHKAN ESENSI SPIRITUALITAS DALAM IBADAH PUASA
RAMADHAN : MENEGUHKAN ESENSI SPIRITUALITAS DALAM IBADAH PUASA
OLEH : M.A
Subtansi ibadah puasa
Sebentar lagi bulan yang ditunggu-tunggu oleh banyak kaum muslimin akan telah tiba, bulan yang berisi banyak hikmah dan berkah. Puasa merupakan suatu hal yang wajib untuk orang yang telah memenuhi syarat dan mampu sesuai kondisinya. Allah berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (Q.S. al-Baqarah [2]: 183). Dengan demikian maka ketika seseorang bertaqwa, maka dia harus memiliki kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minannas.
Sedangkan kesalehan sosial merujuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami yang bersifat sosial. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tidak hanya ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa dan haji, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Puasa memiliki dimensi garis horizontal yang kental dengan nuansa kehidupan sosial seperti berderma, menyantuni orang dhuafa, sabar dalam menerima cobaan. Karena barometer kebajikan bagi Allah bukan hanya diukur dari banyaknya interaksi pribadi hamba kepadaNya akan tetapi kebajikan yang bersifat holistik, yang dapat menjiwainya dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai sosial pada puasa tidak berhenti pada praktek puasa itu saja. Puasa merupakan salah satu sistem yang jitu untuk dapat menghilangkan sifat angkuh, sombong, bakhil, egois, dan sifat tidak terpuji lainnya. Sebab dengan berpuasa, maka seorang mukmin akan mengetahui dan menyadari betapa lemah dirinya. Kesalehan sosial sebagai perwujudan dari pengaruh puasa ini, bisa dicapai jika kita mampu menanamkan secara teguh kesadaran akan kehadiran orang lain dalam diri kita. Ibadah puasa akan mampu membuka tabir ruang-ruang pribadi yang masih dibingkai dengan sikap egois dan tidak mampu menyentuh dunia luar. Ini berarti, ibadah puasa menekankan sikap kesetiakawanan sosial dan solidaritas yang tinggi terhadap orang lain sebagai perwujudan tingkat taqwa yang diliputi oleh ketulusan dan keikhlasan. Setiap manusia pada dasarnya memiliki kecintaan terhadap harta benda sebagai bagian dari naluri mempertahankan diri. Kecintaan ini seringkali memicu lahirnya sikap bakhil serta individualis, mementingkan diri sendiri dan enggan berbagi. Dengan ibadah puasa manusia dilatih untuk dapat meminimalisasi sikap bakhil dan individualis dalam dirinya sehingga dia mau berbagi dengan orang lain.
Puasa sebelum datangnya islam
Mengutip pendapat Abu Ja‘far, al-Thabari (w. 310) dalam Tafsîr-nya (Jeddah: Muassasah al-Risalah, Cetakan I, 2000, Jilid 3, h. 410) menyatakan bahwa para ulama tafsir sendiri berbeda pendapat mengenai maksud “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,” di atas. Sebagian ada yang menyatakan, penekanan tasybîh atau perumpamaan di sana adalah kewajiban puasanya. Sedangkan yang lain menekankan orang-orang yang berpuasanya. Kendati demikian, kedua perbedaan ini tetap bermuara pada maksud orang-orang terdahulu beserta cara, waktu, dan lama puasa mereka. Jika penekanannya adalah orang-orang berpuasa yang sama dengan kita, jelas maksudnya adalah kaum Nasrani. Sebab, mereka diwajibkan berpuasa Ramadhan di mana waktu dan lamanya sama seperti puasa yang difardhukan kepada kita.
Hal itu seperti yang dikutip al-Thabari dari Musa ibn Harun, dari ‘Amr ibn Hammad, dari Asbath, dari al-Suddi. Ia menyatakan, “Maksud orang-orang sebelum kita adalah kaum Nasrani. Sebab, mereka diwajibkan berpuasa Ramadhan. Mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur (dari waktu isya hingga waktu isya lagi), juga tidak boleh bergaul suami-istri. Rupanya, hal itu cukup memberatkan bagi kaum Nasrani (termasuk bagi kaum Muslimin pada awal menjalankan puasa Ramadhan). Melihat kondisi itu, akhirnya kaum Nasrani sepakat untuk memindahkan waktu puasa mereka sesuai dengan musim, hingga mereka mengalihkannya ke pertengahan musim panas dan musim dingin. Mereka mengatakan, ‘Untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah puasa kita sebanyak dua puluh hari.’ Dengan begitu, puasa mereka menjadi 50 hari. Tradisi Nasrani itu juga (tidak makan-minum dan tak bergaul suami istri) masih terus dilakukan oleh kaum Muslimin, termasuk oleh Abu Qais ibn Shirmah dan Umar ibn al-Khathab. Maka Allah pun membolehkan mereka makan, minum, bergaul suami-istri, hingga waktu fajar.”
Puasa dan Transformasi Sosial
Telah sama-sama kita tahu bahwa puasa adalah ibadah yang mengandung dua aspek yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi vertikal adalah hubungan langsung kepada allah, atau dapat diartikan sebagai sebuah pengalaman spritualitas yang bersifat privat hanya hamba dan rab-nya yang tau mengenai apa yang seseorang kerjakan. Sedangkan dimensi horizontal mengandung suatu hubungan yang aplikatif antara hamba dengan hamba, maka sebuah ibadah dalam paradigma horizontal mengandung sebuah makna serta maslahat yang begitu besar. Ibadah puasa dalam bulan ramadhan tidak hanya dimaknai sebagai sarana hijrah untuk membakar dosa-dosa yang ada tetapi jauh lebih dari itu yaitu sebagai sarana bertransformasi, setidaknya seseorang dalam ibadah puasa bertindak selayaknya pada hal-hal berikut :
1.) Berpuasa secara maknawi dan aplikatif
Puasa secara maknawi dapat diartikan sebagai menahan dari yang dilarang ( makan,minum dsb) dari terbenam matahari sampai terbitnya matahari, tetapi puasa secara implisit juga mengharuskan seseorang menjaga tindakannya seperti ( menghasut, menghina, merendahkan orang lain), dua elemen ini satu bagian integral untuk mencapai apa yang allah perintahkan menuju hamba-hamba yang kembali pada fitrahnya.
2.) Menghindari dari pebuatan dzalim
Dalam sehari-hari sebagai makhluk yang biasa kita tak luput dari perbuatan dosa tentu di bulan puasa kita dilatih untuk menghindari hal-hal yang tercela bahkan keji seperti ( menyakiti orang lain, memfitnah, ria, sombong, berkata yang buruk, membicarakan keburukan orang lain, menyakiti hati dsb) maka salah satu subtansi puasa adalah membiasakan manusia untuk tidak berbuat seperti ini, sejalan dengan perkataan abraham maslow bahwa manusia sejatinya adalah orang yang baik. Puasa adalah sebuah wadah yang berguna untuk membiasakan hal seperti ini untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai mahkluk yang mempunyai kecondongan untuk berbuat baik.
3.) Berbuat baik pada sesama
Ibadah puasa juga bersifat horizontal yang mengharuskan seseorang berbuat baik kepada sesama baik kepada sesama muslim, pemeluk agama lain, bahkan sampai kaum mustadh’afin. Seorang muslim yang sebaiknya tidak memberi sekat pada makna dan praktik seputar kebaikan, bahwa seorang dapat mendapatkan dan membagikan unsur magis dari puasa dengan menjadikan ritual ibadah puasa sebagai agenda persaudaraan dan saling mencintai.
Ibadah puasa Dapat disimpulkan secara simbolik sebagai sebuah perintah untuk menahan makan, minum dan tindakan yang allah larang, sedangkan secara implisit puasa menuntut seseorang untuk hijrah ataupun bertranformasi untuk menjadi yang lebih baik. Sejatinya puasa menghilangkan perbuatan manusia dari hal-hal buruk yang biasa dilakukan serta membangun identitas muslim yang baru. Wawlahu alam bii showab😊
Komentar
Posting Komentar