KATAKAN DENGAN BAIK!

KATAKAN DENGAN BAIK!
Oleh : Khairun Nisawah

“Bangsat!” makiku. Mama di ujung dapur langsung melotot.

Aku yang kelepasan bicara menutup mulut seketika. Merungkut dari tatapan Mama yang menjelma seolah naga. Siap menyemburkan api membara.

“Ngomong apa tadi, Nak?”

“Em..” keringat dingin muncul di pelipis. Aku tertawa canggung ketakutan, “Hehe, nggak kok, Mah...”

Merasa Aku sudah menyesal, Mama kembali melanjutkan kegiatannya membungkus kotak bekal. Duh, selalu begitu. Ibuku satu-satunya itu tak pernah sekalipun membiarkan kata-kata kotor keluar dari mulut anaknya. Aku ingat dulu, pernah berkata kasar karena ikut-ikutan trend kawan-kawan. Pas Mama dengar, Ia langsung membawaku ke dapur, mengiriskan cabai lalu melumurinya di atas bibir. Sejak itu, Aku kapok kalau bicara jelek di depan Mama.

Sayangnya, hanya di depan Mama.

Namanya pubertas, rasanya nggak keren kalau ngomngnya ‘Aku-kamu.’ Siapa yang setuju kalau nggak pake kata ‘anjir’, rasanya kurang akrab? Bilang ‘bego’ dan ‘tolol’ juga nggak lengkap kalau ga kububuhkan di akhir kalimat. Kalau setuju,  berarti Kita sama. Remaja dan pergaulannya. Kupikir nggak ada yang salah toh kalau itu diucapkan pada sesama teman? Bikin akrab, ga keliatan kudet. Lagian ini bagian dari kultur. Asalkan pas bikin makalah dan artikel akademis lainnya Kita ngerti buat pakai bahasa baku, sudah cukup toh?

Cukup banget.
Tapi Mamaku nggak berpikir seperti itu sama sekali. Baginya, mau menulis atau bicara, mau sebaya atau lebih muda, semua adab kata-kata harus selalu dijunjung jadi yang utama.

Geh, kolot.

“Jalan jam berapa Kamu, nak?”

Aku melirik jam di ponsel, keluar sebentar dari notifikasi grup kelas yang membahas soal presentasi yang jamnya dimajukan mendadak. Hal yang tadi membuatku memaki, karena Aku yang bertugas buat ppt, belum jadi.

“Sedikit lagi, Ma.”

Kembali ke laptop di depan meja. Aku ngebut meng-copy sub-sub judul dan memindahkannya ke aplikasi power point. Kebiasaan orang Indonesia yang ngerjain apa-apa mepet dan ngaret. Lagi-lagi tanpa merasa bersalah terus menerus diulangi sampai mendarah daging. Yah, mau gimana lagi.  Susah merubahnya.

Usai mengerjakan dan memasukkan laptop ke dalam tas, Aku melirik gawai sekali lagi,

‘Dosennya udah dateng!’

‘Yang presentasi buruan woy!’

Anjir, gue belom jalan!-Aku membatin, akhirnya bergegas.

“Ma, Aku berangkat!”

Meninggalkan kecup di pipi dan lambaian tangan sebagai salam, kupacu kuda besi dengan kecepatan tinggi menuju kampus tercinta. Sayangnya, perjalananku tak semulus kulit mbak-mbak sales di Mall-Mall. Tantangan lampu merah di perempatan kadang jadi alasan utama. Belum lagi..

Kecelakaan tak terduga.

“Aish, bangsat. Tambah macet, gila.” Jarak 20 meter di depan, klakson mobil dan motor bercampur baur berebut jalan. Orang-orang mengeluh dan melongok, reaksi kedua setelah kaget dan iba, dominan merasa perjalanan Mereka terganggu dan ekspresi soal waktu yang terbuang sia-sia dibanding kasihan dan menanyakan kabar korbannya. Tak jauh beda dengaku. Duh, alamat keburu selesai kuliah ini mah kalau menunggu lancar.

Makanya, daripada menanyakan bagaimana pihak berwajib memproses kejadiannya, Aku lebih memilih putar balik mencari jalan. Memaki sepanjang aspal sampai parkiran kampus. Saat tiba di kelas dan dipersilahkan memulai, satu anggota kelompokku tidak datang. Dan tak ada yang tahu kabarnya.

***

Jam berganti, ruang kelas berganti. Temanku yang tadi hilang, muncul di mata kuliah kali ini. Bersandar di pojokkan seperti kelelahan. Aku langsung menyapa. Namanya Eki.

“Woy, ki! Lu kemana tadi, anjir? Bego dah, ketauan dosennya killer, Lu malah ga dateng presentasi. Ngapain dah lu?” Aku mendengus kecil mentertawakan ketololannya di akhir kalimat. “Mati bego Lu, Ki.”

Eki menepis tanganku di bahunya. Aku kaget. Ia sedang serius rupanya. Biasanya Kami lontar-lontaran canda, tapi sekarang tatapnya sangat tersakiti, menusuk mata.

“Diem ah!”

“Ish, kenapa sih,”

Lalu mataku menangkap sebelah lengannya yang lecet. Itu bukan luka parut biasa. Makin kebawah, kulihat Ia menggulung sebelah celana jinsmya sampai lutut. Bekas darah. Seketika Aku panik dan merasa bersalah.

“Eki, lu kecelakaan?”

“Bawel. Diem aja udah. Capek gue.”

Aku seketika menutup mulut. Merasa sangat menyesal karena tidak peka. Kenapa justru sapaan tidak sopan yang terlontar pertama? Kenapa Aku asal saja bercanda dan berkata-kata? Jangan-jangan justru kecelakaan tadi pagi yang kumaki-maki ternyata Eki yang mengalami? Ya Tuhan... Aku menyesal sekali rasanya..

“Ki, sorry gue asal ngomong... Lu tadi jatoh di deket halte bukan?”

Eki nampak malas menjawab. Nampak terlanjur kecewa dan menelungkupkan badannya pura-pura tidur.

“Gila, motor lu gimana? Ntar gue anter pulang deh..”

“Pssst.”

Ia terlihat makin anti. Eki marah, mungkin campur lelah. Dan rasa bersalah itu semakin besar menggerogoti Aku di relung dada.

“Ki.. lu ga pa-pa, kan, ki..?”

“Males ngomong gue. Temen lagi sakit malah dihina-hina.”

“Yah, maaf Ki..”

Rasanya Aku jadi ingat kata-kata Mama. Soal menjaga bahasa pada teman sebaya ataupun yang lebih muda. Mungkin niatku untuk menyapa itu baik. Tapi Kita tak pernah tahu kapan suasana hati seseorang itu sedang tidak baik. Makanya sebuah canda jadi menyakitkan, sebuah lelucon jadi mematikan. Bahkan sederet kalimat bisa menghancurkan hati seseorang! Ah! Sungguh bodoh. Aku baru paham maksud Mama.

Apapun ungkapan Kita, mau khawatir, mau menanyakan kabar, atau bahkan sekedar bercanda.. Mestinya Kita katakan semua dengan kalimat yang enak di telinga. Bukan masalah gaul atau trend juga, apalagi katanya, kata-kata itu cerminan diri Kita. Kata-kata kasar yang tanpa sadar Kita luncurkan begitu mudah, sebenarnya adalah dosa-dosa kecil yang sedikit demi sedikit menggigiti pahala Kita.

Maka kapanpun itu, ucapkanlah yang baik! Katakanlah dengan baik!

“Ki, maaf Ki.. ntar gue temenin ketemu dosen deh buat ganti presentasi yang tadi..”

“Bener, lu ya?”

“Iya bener! Sorry ya..”

“Hm..”

Dan kalauu sudah terlanjur, minta maaf juga yang baik ya!


SELESAIIIII

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan pandang

Resume Buku "Robohnya Dakwah di Tangan Da’i"

Nikmatnya Menghafal