Kado untuk Pendidikan Negeriku


Kado untuk Pendidikan Negeriku
Oleh : Nurkhalifah Tri Septiyani

Sistem pendidikan dan pengajaran Indonesia harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa, kepentingan hidup kebudayaan dan hidup kemsyarakatan dalam arti yang seluas-luasnya. Maka harus diingat adanya perbedaan bakat dan keadaan hidup antara anak didik yang satu dengan anak didik yang lain (daerah pertanian, perdagangan, pelayaran dan lain-lain). Maka perlu diadakan diferensiasi untuk kemanfaatan bagi anak didik, maupun masyarakat dan negara”. – Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan Indonesia selalu mengalami reformasi sejak era kemerdekaan, baik kurikulum ataupun sistem pendidikan Indonesia lainnya. Dapat diakui bahwa sistem yang diterapkan memang memiliki kemajuan demi meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan Indonesia. Sayangnya, implementasi dari kebijakan yang telah dibuat belum berjalan mulus. Rendahnya tingkat literasi yang hanya 0,001% (UNESCO, 2012), tingginya jumlah buta huruf dengan 3,4 juta orang (Kemendikbud, 2017), banyak anak yang tidak sekolah dan kuliah, semua itu adalah bukti bahwa tujuan dari pendidikan belum sukses tercapai.
Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tingginya angka putus sekolah ternyata berbanding lurus dengan jumlah anak yang menjadi buruh. Data BPS (2017) mencatat lebih dari 2 juta anak Indonesia menjadi buruh dan tidak sekolah. (Cnnindonesia.com, 2017).
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan sampai sekarang ternyata masih ada 4,1 juta anak di Indonesia yang tidak bersekolah. Mereka tidak beruntung mengenyam pendidikan akibat berbagai masalah sosial. "Saya mencatat sebanyak 4,1 juta anak di Indonesia tidak sekolah di usia sekolah dengan berbagai persoalan sosial," kata Khofifah saat melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, pada Rabu (5/4/2017) seperti dilansir Antara. (Tirto.id, 2017).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, angka partisipasi kasar (APK) merupakan alat ukur peningkatan pendidikan di Indonesia. APK di perguruan tinggi masih kurang baik, ujar Nuh. Pada 2004, kata Nuh,  dari 100 anak hanya 14 anak yang kuliah. Lalu pada 2013, dari 100 anak yang kuliah naik jadi 30 anak. (Republika.co.id, 2014).
Biaya pendidikan yang tinggi dan ekonomi keluarga rendah adalah salah satu faktor yang memengaruhi tingginya tingkat anak Indonesia yang tidak sekolah. Sehingga masyarakat miskin dan sederhana kewalahan untuk menanggungnya. Di satu sisi, mereka tetap dituntut kewajiban berpajak baik langsung maupun tidak langsung. Namun di sisi lain, hak-hak tidak mereka dapatkan untuk menjamin kesejahteraan hidup. Inikah keadilan?
Penerapan sistem pendidikan yang kurang merata. Banyak anak yang harusnya berseragam dan belajar di sekolah justru berkeliaran di jalanan sebagai pengamen, pedagang, tukang semir, bahkan menjadi copet. Atau anak Indonesia lainnya yang berada di daerah 3T (daerah terdepan, terluar, dan tertinggal) yang hanya dapat ikut orangtuanya mencari makan di laut, hutan, atau sekedar bertualang bersama teman-temannya. Pun dengan lulusan SMA sederajat yang tidak melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Juga dengan program beasiswa dan tunjangan pendidikan lainnya yang harus direnovasi keadilannya. Karena banyak siswa yang benar-benar membutuhkan malah tidak mendapatkan. Sebaliknya, siswa yang masih mampu justru malah mendapat beasiswa. Hal ini membuktikan perhatian pemerintah belum menyeluruh kepada rakyat.
Padahal pendidikan sudah jelas urgensinya untuk kehidupan. Salah satunya sebagai warisan yang harus diestafetkan kepada anak cucu kita nanti, juga untuk membawa negeri ini kepada peradaban yang lebih maju di mata dunia.
Rasanya untuk mengulik semua masalah yang sedang membenalu pada nadi pendidikan negeri ini tidak cukup dibahas dalam satu kesempatan. Sebenarnya jika ingin menilik ke akar permasalahan, semua itu bersumber dari para pemimpin yang tidak amanah pada tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini, Indonesia mendapat kado dari pemerintah. Ada beberapa, salah satunya student loan. Student loan adalah kredit pendidikan atau pinjaman yang ditujukan kepada pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Nampak sangat kontradikrif dengan UU No. 12 Tahun 2012 Pasal 76 ayat 1 yang berbunyi, "Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik." Dan UU No. 12 Tahun 2012 Pasal 76 ayat 2 yang berbunyi, "Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi; b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan."
Napas rakyat semakin tercekik. Ini akan berdampak besar bagi tiap-tiap individu, terutama di bidang ekonomi. Di mana akan terlahir generasi penghutang di Indonesia. Kenapa harus terinspirasi dengan kebijakan riba dari negara luar, kalau masih banyak kebijakan yang lebih bermanfaat lainnya? Kenapa harus menerapkan kebijakan yang justru mengajak rakyat untuk berutang?
Solusi ini malah akan menambah masalah dan kasus baru untuk dunia pendidikan kedepannya. Belum terjaminnya lapangan pekerjaan juga sangat memengaruhi kredit pendidikan ini. Mau dibayar pakai apa utang pendidikan, kalau sarjananya saja menjadi pengangguran setelah lulus kuliah? Di negara maju seperti Amerika dan Inggris saja, banyak rakyat yang baru bisa melunasi utangnya di usia senja, bahkan tidak sedikit yang gagal bayar. Padahal mereka sudah terjamin pekerjaan setelah menjadi sarjana. Lalu bagaimana dengan nasib Indonesia nantinya?
Sebetulnya inilah yang harus dipahami dan dievaluasi dari pendidikan kita agar tidak terus jatuh di lubang yang sama pada masa pemerintahan selanjutnya. Adapun solusi dari student loan, yakni dengan mengonsep kebudayaan masyarakat dan amanat konstitusi Indonesia, yaitu program wakaf pendidikan. Namun, wakaf belum dilirik pemerintah untuk menjadi solusi masalah pendidikan. Padahal wakaf dapat dijadikan kontributor yang berperan dalam pembangunan terutama pada bidang pendidikan, misalnya dalam memaksimalkan potensi untuk anggaran beasiswa, membangun perguruan tinggi bertaraf internasional, ataupun lain sebagainya.
Semestinya Indonesia dapat bercermin pada Universitas Al Azhar, yang merupakan hasil pengelolaan wakaf dari masyarakat Mesir pada tahun 970 M. Alternatif pembiayaan pendidikan ini juga sudah didukung oleh konstitusi melalui UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-undang tersebut, wakaf adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Alghifariways.wordpress.com, 2018).
Kontribusi wakaf dalam dunia pendidikan selain penerapannya di Universitas Al Azhar Mesir, Harvard University juga telah mengelola endowment (Wakaf). Bahkan, Harvard University di Amerika Serikat yang merupakan pengelola academic endowment terbesar di dunia memiliki nilai endowment lebih dari 35 miliar dolar AS pada 2016. Jumlah endowment kampus tersebut sangat besar dan menjadi penopang pemasukan kampus terbesar dengan presentase 36% dari total penerimaan (Republika.co.id, 2018).
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana solusi wakaf ini dapat diimplementasikan sebagai kebijakan yang lebih dipilih dari pada student loan? Hal ini hanya dapat dijawab dengan keputusan pemerintah yang memang memiliki kuasa untuk itu. Namun sebagai partisipan pendidikan, penulis yang mana juga berstatus sebagai mahasiswa berharap pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih bijak.
Bila kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia maka pemerintah telah menjalankan amanat konstitusi Pasal 31 UUD 1945 dan UU No 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi. Perlu adanya political will dari seluruh pemangku kebijakan dan tentu oleh yang mulia, Bapak Presiden Joko Widodo. (Alghifariways.wordpress.com, 2018).
Solusi di atas semata-mata hanyalah sebuah impian penulis untuk negeri Indonesia. Agar suatu saat dalam waktu cepat Indonesia bisa menjadi negeri yang sejahtera dalam segala aspek. Karena Indonesia butuh berbuka dari puasa yang telah berkepanjangan ini. Dan Pendidikan Nasional telah lama mendamba hadiah indah dari pemerintah.
Wallaahu a'lam bish showab.





DAFTAR BACAAN
Ar Rahadian, Tingginya Angka Putus Sekolah di Indonesia, https://student.cnnindonesia.com/edukasi/20170417145047-445-208082/tingginya-angka-putus-sekolah-di-indonesia/. Diakses pada 30 April pukul 18:00 WIB
Addi M Idhom,  Masih Ada 4,1 Juta Anak di Indonesia Tak Bersekolah, https://tirto.id/masih-ada-41-juta-anak-di-indonesia-tak-bersekolah-cmed. Diakses pada 30 April 18:17 WIB
Indira Rezkisari Duh, Jumlah Anak Indonesia yang Kuliah Masih Rendah, http://m.republika.co.id/amp_version/ndpe6n. Diakses pada 1 Mei pukul 06:00 WIB
UU No. 12 Tahun 2012 Pasal 76 ayat (1) dan (2)
Alghifariways, Student Loan Menuai Polemik, Mahasiswa Ekonomi Syariah IPB Tawarkan Solusi Wakaf Pendidikan, https://alghifariways.wordpress.com/2018/03/26/student-loan-menuai-polemik-mahasiswa-ekonomi-syariah-ipb-tawarkan-solusi-wakaf-pendidikan/amp/. Diakses pada 1 Mei pukul 06:30 WIB


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan pandang

Resume Buku "Robohnya Dakwah di Tangan Da’i"

Nikmatnya Menghafal