Dagelan Kampus Intelektual: Apa Kabar Duhai Pemimpinku?
"Dagelan Kampus Intelektual:
Apa Kabar Duhai Pemimpinku?"
Oleh:
Remy Hastian
Malam
sunyi yang dibalut kehangatan, rembulan hari ini tak datang menghampiri.
Tikus-tikus itu berdendang membawa makanan basi tak terurus di rongga-rongga
pojok jalan. Tatkala kejora pun juga mengumpat, malu terhadap bumi karena takut
berbuat dzholim tak mampu menyinari setiap insan meminta. Rembulan pun sama.
Mungkinkah ini alasan engkau tidak keluar pada malam ini?
Wahai
'Rembulan' yang ku hormati, diri ini sedang menikmati syahdunya malam, sejuknya
alam, di pojok bangunan yang tak berujung, di pengkolan jalan penentu nasib
para kaum abangan. Bolehkah ku bercerita sedikit untuk memulai pergantian hari
menyingsing pagi-- tanda bergantinya hari?
Pemimpin
di kampus ku, kini telah tiada. Dahulu, saat ku memperjuangkan kebenaran,
meneriakkan kedzholiman, dan memberikan secarik pencerdasan kepada khalayak
umum yang meminta keadilan harus ditegakkan. Walau, sebagian dari mereka hanya bisa
mencibir jalan juang ini, mengkritik setiap apa yang kita lakukan, menjudgment
setiap apa yang akan kita berikan untuk perbaikan peradaban. Tapi ku cinta
mereka, dengan adanya mereka bukankah itu yang membuat kita dapat sekuat ini?
Di jalan juang ini?
Lewat
konsolidasi tak kenal waktu, membahas isu kampus yang hangat. Membangun
eskalasi gerakan dari bertemu mentari hingga menyapa dirimu, Rembulan. Dan pada akhirnya--singkat
cerita perjuangan kita berbuah manis, Pemimpin kita tumbang di makan data yang
beliau umpati. Itulah Hebatnya kami bersatu, geloranya kami bersemangat dan
perkasanya kami tak lelah untuk berjuang. Bersama para karyawan, dosen, dan
kesatuan civitas akademika lainnya.
Pemimpin
kampus ku di-DO oleh Kementrian--hingga berujung pada pengangkatan PLT yang
pernah tinggal di kota bersahaja nan indah, gedung sate bangunan terkenalnya.
Tak usah ku deskripsikan, engkau sudah punya jawabannya bukan? Beliau sampaikan
kata penyemangat kepada massa aksi yang saat itu sedang murka luarbiasa karena efek
kepemimpinan pemimpin sebelumnya. Mendatangi gedung rektorat kembali, berharap
penuh resah jika yang menggantikan Mr. J dapat mengakhiri rentetan panjang data
bobrok terhadap plagiarisme, nepotisme dll. Walaupun hanya 'sebentar' --hingga
September dapat ditemukan Rektor kembali. Kami (massa aksi) pada saat itu
menyodori nota kesepakatan untuk dapat dipahami dan disepakati, jika sebuah
pernyataan dengan lisan yang lugas pun tak mampu membuat kami luluh, tak mampu
memberikan gambaran kepada kami jika akan ada perubahan yang jauh lebih baik
dari sebelumnya.
Boom!!!
Benar
adanya.
Kasus
itu belum terselesaikan, omong kosong dalam penanganan setiap permasalahan yang
ada. Data empiris mengatakan, jika PLT menandatangani kredit pendidikan. Ku tak
mau berdebat dalam perbedaan perspektif menanggapi baik atau buruknya tentang
kredit pendidikan ini. Tapi, ingin ku sampaikan kepada rekan-rekan
seperjuangan, bahwa gagasan Nawacita yang digaungkan rezim Jokowi-JK berdampak
terhadap keputusan Kemenristekdikti dalam perwakilannya di bidang akademik
bangsa ini. Dan kau tau cerita di lapangan seperti apa? PLT kita ini, dalam
jamuannya menandatangani hingga membuat kesepakatan yang berdampak untuk
adek-adek kita nanti semasa di kampus. Beliau datang dengan mewakili 2 jabatan
yang berbeda, PLT maupun Belmawa Dikti. Pada nyatanya, keputusan Rezim
Jokowi-JK berlanjut di Kemerinstekdikti hingga tangan kanan-nya Dikti adalah
PLT kampus ku yang menjabat.
Aku
ingin bercerita lebih panjang lagi, wahai Rembulan.
Elok
pagi itu menjadi saksi, kicauan burung itu merdu--menari dalam sanubari. Kami
tak mau tinggal diam melihat kedzholiman yang datang kembali. Kau bilang kami
ini tak sabaran karena kucuk-kucuk melakukan aksi? Ingin ku bertanya kembali
kepadamu. Apakah kau akan menjadi garda terdepan ketika pada suatu saat nanti,
kedzholiman itu terjadi kembali? Penyelewengan keputusan itu akan terjamah
lagi? Apa kau siap? Kritikanmu itu membuat kau harus sadar, jika tanggungan ini
akan berdampak kepada rekan kita, adek kelas kita bahkan keluarga mereka.
Tidak, bukan mereka. Tetapi kita. Apakah kau berfikir sejauh itu? Duhai
pengkritik?
Pada
akhirnya kami melanjutkan perjuangan untuk ber-tabayyun menemui bapak sang
pengganti Mr J. Dalam jamuan baik kita datang ke Rektorat. Dengan niat yang bersih,
hati yang damai. Kami sampaikan keresahan berbasis data untuk bertemu bapak
kita, hehe benar kau pintar sekali. PLT Rektor kita.
Tapi,
ada hal yang membuat kami kecewa, bapak tak ada di rumahnya. Rumah Civitas
Akademika nan asing bagi kita yang terpaut elemen di dalamnya, yaitu sebagai
Mahasiswa. Asing sekali suasananya--tanda lebih banyak dari mereka yang jarang
main ke rumahnya sendiri, atau bahkan mereka sudah berniat main dan sowan
tetapi di larang untuk masuk? Dibatasi jumlahnya? Padahal, fasilitas rumah itu
ada unsur pautnya oleh pendapatan rakyat, yaitu kita.
Perjuangan
itu masih berlanjut.
Melanggar
waktu yang telah disepakati--membuat kami awalnya geram. Dosen mana yang tak
geram jika perjanjian bertemu dengan mahasiswa, tapi dari mahasiswa melanggar
kesepakatan dengan datang tidak tepat pada waktunya? Dosen mana? Realitanya,
dosen telat pun kita maklumi itu. Anehnya, ketika mahasiswa telat dicaci,
dimaki, bahkan diberikan tugas tambahan--hinga mereka fokus terhadap akademik
yang membelenggu terhadap hegemoni yang semu. Dan ini terjadi pada pemimpin
kita di kampus, rekan-rekan seperjuangan.
Akhirnya,
bapak (PLT Rektor) ingin mengganti waktu pertemuan di hari Sabtu, kami setujui
itu--tanda benar-benar serius dalam penggarapan isu dalam kampus ini. Waktu
yang tepat akhirnya tiba, bapak bertemu dengan para perwakilan mahasiswa.
Anehnya, ada segelintir oknum dari pihak birokrat yang mengatakan diksi tak
mendidik kepada kami. Dan lebih anehnya lagi, pihak mereka (birokrat)
mengatakan, "Mahasiswa tidak kenal sopan santun". Hehe, kau bisa
menyimpulkan selagi logika mu masih sadar. Siapa yang harusnya mengatakan
"tidak kenal sopan santun"? Padahal, di Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945
maupun pasal No. 9 tahun 1998 telah mengatakan hak kita dalam menyatakan pendapat
bukan? Tapi, dengan segala hormat kami dapati itu seperti represifitas. Ucapan
penuh gerigi, menusuk tajam--merobek kepercayaan terhadap pimpinan birokrasi di
kampusku, yaitu ucapan macam ba****t terlontar oleh mulut pihak birokrat. Apa
pendapatmu rekan seperjuangan? Sekali lagi ku bertanya, kita yang datang
baik-baik dan menyatakan pendapat di muka umum--malah dilawan oleh kata-kata
tidak senonoh di depan gedung pimpinan kita sendiri? Adapun Rasulullah pernah
mengatakan, “Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat siapa ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Nasihat kepada kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin
dan seluruh umat. ( HR. Muslim dari
Tamim Ad-Daari, Kitab Al-Iman, Bab Bayan anna Ad-Din Nasihah (82), Abu Dawud
(4944), Nasa’i, (4197), dan Ahmad (16982). Maupun dengan sabda yang lain,
beliau sampaikan, “Jangan melarang seseorang memberikan hak kepada manusia
untuk mengatakan kebenaran jika dia mengetahuinya." ( Tirmidzi dari Abu
Said Al-Khudri, Kitab Al-Fitan, Bab Maa Jaa’a Maa Akhbaran Nabi Ashabihi bimaa
huwa Kain ilaa Yaumil Qiyamah).
Fajar
telah menyingsing~
Sedikit
lagi wahai rembulan, ada pesan yang ingin ku sampaikan kepadamu jika nanti
engkau akan hilang. Terkait cerita ku tadi, semoga engkau bisa mengambil
hikmahnya. September adalah harga mati untuk finalisasi adanya rektor/pemimpin
baru di kampus ku. Lebih dari waktu yang ditentukan, kami tekankan itu
perbuatan inkonstitusional. Kami ingin cepat adanya pemimpin di kampus ini,
rektor/pemimpin adalah sebuah simbol setiap kebijakan kampus yang strategis
atau non strategis. Banyak isu yang harus dijawab oleh Rektor definitif, macam
MPA, penghancuran bangunan GSG, uang pangkal dan permasalahan lainnya.
Luluh
lantah.
Hati
hancur berkeping, duka mendalam tak mungkin terobati. Dan tak mungkin ada
obatnya. Manusia yang paling mulia telah dipanggil Sang Khalik. Wafatnya
Rasulullah Saw. adalah salah satu contoh wajibnya memilih pemimpin secepatnya.
Dan ketika manusia yang paling mulia meninggal dunia, apa yang terlintas di
benak kita? Kaum muslimin mengalami kekosongan kepemimpinan dan pada waktu yang
sama, harus mengurusi jenazah Rasulullah secepatnya.
Tatkala
itu terjadi, ijma' para sahabat menandakan ada kekhawatiran yang
memuncak---hingga datangnya kesepakatan bersama untuk mengangkat pemimpin
terlebih dahulu adalah kesepakatan sahabat pada saat itu. Ke Bani Tsaqifah,
memaksa cepat diadakannya musyawarah untuk memilih pemimpin dibanding mengurusi
jenazah manusia yang paling mulia sejagat raya. Diriku menekankan jika memilih
pemimpin secepatnya di dalam suatu tatanan ruang yang ada, merupakan kewajiban
garis berat
Engkau
pahami wahai rembulan, sampaikan itu pada pemimpin mu juga di alam semesta.
Semoga engkau makin tercerahkan duhai saudaraku, Rembulan.
Waallahu
a'lam bisshowab.
Komentar
Posting Komentar