Bukan Tuk Ditakuti
Bukan
Tuk Ditakuti
Oleh : Soe
~
"Kalau
aku nanti mati," tukas Kartosoewiryo di hadapan para pengikutnya seperti
yang pernah dikutip oleh Sarjdono Kartosoewirjo tentang ayahnya itu,
"kalian ikuti Pak Natsir." Akhir cerita tentang Sang Imam Darul Islam
itu pun, seperti yang kita tahu, berakhir dengan timah panas yang menembus
dadanya. Tiga belas tahun ia bergerilya, menyusuri lereng Gunung Rakutak,
Cicalengka, Kabupaten Bandung. Ia kecewa dengan perjanjian Renville yang
ditandatangani pada 17 Januari 1948. Salah satu butirnya menetapkan garis Van
Mook sebagai batas antara Indonesia dan Belanda. Hal itu mengakibatkan Divisi
Siliwangi harus mundur ke Jawa Tengah.
Namun,
Kartosoewiryo lebih memilih bertahan bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah
untuk berperang melawan Belanda. Ia kecewa, merasa bahwa pemerintah
meninggalkannya. Ia kemudian mengumpulkan berbagai pemimpin Islam se-Jawa Barat
di Desa Pangwedusan, Cisayang, Tasikmalaya pada 10 Februari 1948. Salah satu
kesepakatannya ialah membentuk Tentara Islam Indonesia. Kekosongan di Jawa
Barat baginya, membuat cita-cita untuk mendirikan Negara Islam, terus
berdengung. Hingga akhirnya proklamasi Darul Islam itu berkumandang.
Sebenarnya,
Natsir sempat meminta A. Hassan untuk mengirimi surat kepada Kartosoewirjo
untuk membujuknya mundur. Namun, surat itu baru sampai ke tangan Kartosoewirjo
tiga hari setelah Darul Islam mempoklamirkan dirinya. Bagi Natsir, tak mudah
mengubah pendirian Sang Imam karena "Bagi dirinya, yang berat itu ialah
menelan ludah sendiri," ujar Natsir.
Natsir
dan Kartosoewirjo, barangkali memiliki cita-cita yang serupa, namun cara yang
mereka lakukan amatlah berbeda. "Partai Masyumi hendak mencapai maksudnya
dengan jalan Undang-Undang Dasar ... dan tidak dengan jalan kekerasan,"
tulis Natsir dalam Pengumuman Sikap Dewan Pimpinan Masyumi atas Pemberontakan
Darul Islam, Januari 1951.
Jika
Kartosoewirjo lebih memilih untuk mendirikan Darul Islam, Natsir lebih memilih
menggaumkan Islam Sebagai Dasar Negara pada sidang Konstituante pada tahun 1957-1959.
Islam itu kata Natsir "Kalau besar tidak melanda, kalau tinggi malah
melindungi."
Belakangan,
stigma negatif acapkali melekat pada orang-orang yang mungkin se-pemikiran
dengan Natsir. Orang-orang yang ingin mewujudkan Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dianggap radikal, anti NKRI dan intoleran. Padahal
dalam sejarah republik ini pertarungan ideologi semacam itu ialah hal yang
lumrah.
***
Mosi
Integral, merupakan sebuah mosi yang disampaikan oleh Natsir pada sidang
parlemen Republik Indonesia Serikat 3 April 1950. Mosi itu lahir untuk merespon
berbagai gejolak yang terjadi ketika Indonesia terbagi menjadi 16 negara
bagian. Berbagai lobi dilakukan oleh Natsir agar berbagai negara bagian
tersebut mau bergabung. Hingga akhirnya ia mengusulkan mosi itu pada jalur
parlementer.
"Mosi
Integral Natsir kami jadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang
sedang dihadapi," tukas Muhammad Hatta selaku Wakil Presiden sekaligus
Perdana Menteri pada sidang parlemen RIS 3 April 1950. Seiring waktu berjalan,
hingga akhirnya tanggal 15 Agustus Soekarno membacakan Piagam Pembentukan
Negara Kesatuan dalam sidang parlemen dan senat RIS. Kemudian, dua hari
setelahnya diumumkan lah lahirnya Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) bertepatan
dengan peringatan hari kemerdekaan dan Natsir yang menjadi arsitek utama
dari terbentuknya NKRI.
Sebuah
fakta yang tak terbantah lagi. Si penggagas NKRI itulah yang kemudian
menyuarakan Islam Sebagai Dasar Negara. Apakah Natsir tidak mencintai negeri
ini karena ia menyuarakan ideologinya tersebut? Apakah Natsir menjadi pemecah
belah bangsa karena ideologinya tersebut? Tentu tidak, kita melihat sosok
Natsir sebagai tokoh pemersatu yang begitu penting dalam perjalanan bangsa ini.
Maka tidak bisa kita menyimpulkan orang-orang yang barangkali memiliki ideologi
sama dengan Natsir itu sebagai orang yang anti-NKRI.
Sosok
Natsir memang garang lantang bersuara dari atas mimbar sidang Konstituante.
Namun, jika sudah di luar sidang, perangainya begitu lembut nan indah. Selepas
sidang Konatituante, Natsir kerapkali bersama Aidit lawan debatnya ketika
sidang, berada di kantin gedung parlemen untuk sekedar berbincang mengenai
keluarga mereka masing-masing dan meneguk secangkir kopi. Roem menyatakan bahwa
Natsir mempunyai sifat yang sangat bersahabat yang membuatnya dirindu oleh
banyak orang. Ia biasa mendengarkan teman-temannya bercerita dengan penuh
perhatian. Ketika Natsir sakit, banyak orang yang menjenguknya, seringkali
Natsir memaksakan diri untuk menemui orang yang menjenguknya tersebut.
Chris
Siner Key Timu, tokoh Katolik yang menandatangi Petisi 50 itu pernah berbicara
tentang Natsir, "Saya banyak belajar dari dia tentang menghargai orang
yang berbeda pendapat." Suatu ketika, keduanya tidak sengaja bertemu di
kantor Bantuan Lembaga Hukum Jakarta. Sepulang dari sana, Natsir mengajak Chris
untuk pulang bersama. "Ketika mau pulang, Pak Natsir menawari saya ikut
mobilnya," ujar Chris.
Sebenarnya
mereka tidak searah. Ketika tiba di depan kantor Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Jakarta Pusat, Chris meminta untuk diturunkan dan hendak melanjutkan
perjalanan ke Semanggi dengan bus. Tapi Natsir bersikeras dan mengantarnya
hingga ke Semanggi. "Padahal saya ini siapalah?" ujar Chris.
Menjadi
orang yang menggaumkan Islam Sebagai Dasar Negara tak melulu melekat pada
dirinya sikap eksklusif, intoleran dan keras kepada non-muslim. Barangkali ada
sebagian orang yang demikian, tapi bukan untuk men-generalisir dan menganggap
mereka semua itu eksklusif dan intoleran. Bukankah kita diminta untuk berbudaya
kritis? Kritis lah terhadap hal-hal seperti itu, bukan hanya kritis untuk
menyudutkan umat Islam. Menganggap bahwa kelompok yang ingin agar Islam Sebagai
Dasar Negara itu tekstualis dan penuh dengan doktrin. Kritis lah, bukankah
menganggap bahwa kelompok tersebut eksklusif dan intoleran itu doktrin yang
sebenarnya?
Narasi-narasi
seperti itu bukanlah narasi-narasi yang baru-baru ini muncul. Narasi itu tidak
lebih dari narasi yang sudah basi yang tidak selaiknya lagi dikonsumsi.
Narasi-narasi itu kemudian bermuara pada sebuah narasi yang lain, untuk waspada
pada gerakan-gerakan Islam. Gerakan-gerakan Islam itu intoleran dan
sebagainya.
Dalam
dunia kampus, LDK dan LDF menjadi kambing hitam sebagai gerakan Islam yang
intoleran, bahkan yang lebih ekstrem lagi, LDK dan LDF dianggap sebagai
penghasil teroris. LDK dan LDF dianggap memiliki sistem pembinaan yang
dinamakan mentoring yang bersifat doktrin dan memaksakan kehendak. Duhai, mana
pernah diajarkan begitu.
Mari
kita berpikir sejenak, apakah mungkin LDK dengan berbagai kegiatan pelayanan
umatnya seperti pemberantasan buta huruf Al Quran, kajian-kajian keislaman dan
kedekatan dengan Masjid itu menjadi sarang teroris? Di lain sisi, beberapa
mawapres tingkat fakultas dan universitas berasal dari peserta-peserta
mentoring. Apakah mawapres yang ikut serta dalam mentoring itu juga menjadi
korban doktrin juga? Silakan anda nilai sendiri.
Barangkali
kita perlu bersikap seperti apa yang Rasulullah SAW lakukan kepada penduduk
Thaif. Bahwasanya mereka melakukan hal tersebut karena ketidaktahuan mereka dan
kita berharap dari sulbi-sulbi tulang mereka muncul orang-orang yang di
kemudian hari mampu membela gerakan Islam.
"Memahami
agama seperti kita hendak memakan sebuah roti," tukas Dr. Andy Hadiyanto
MA, ketika menyampaikan materi mata kuliah tasawuf di dalam kelas, "tidak
cukup kita hanya melihat dan memikirkan roti tersebut. Tetapi juga, rasakan
begitu nikmatnya roti tersebut."
Meminjam
kata-kata tersebut, saya ingin menyampaikan bahwa untuk memahami LDK, LDF dan
sistem mentoringnya, tidak cukup hanya melihat dan memikirkan, tetapi juga
merasakan nikmatnya mentoring tersebut.
Komentar
Posting Komentar