Agama Gokil Bukan Agama Tengil


Agama Gokil Bukan Agama Tengil
Oleh : Aji Setiawan




Pada Februari 2017, Donald Trump mengumumkan perintah menolak izin datang dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim. Beberapa jam kemudian, sebuah masjid dibakar di Victoria, Texas. Melawan teror ini, komunitas Kristen dan Yahudi datang menawarkan sinagog dan gereja bagi muslim untuk dapat melaksanakan ibadahnya.
Anak-anak dari sekolah Katolik datang menjenguk dan masyarakat mengumpulkan donasi untuk membangun masjid yang baru. (“How Jews and Christians in this Texas Town are Helping Muslims Whose Mosque Burned Down”, time.com, 2017). Masih di Amerika, aktivis Muslim juga menggalang dana untuk mendukung pembangunan kembali pemakaman kaum Yahudi yang dirusak di St. Louis. Pesan mereka, “Kerja sama lintas keyakinan diajarkan dalam kitab suci."

”Kami mengirim pesan bahwa kita tidak bersedia memberikan tempat bagi kebencian dan kekerasan.” (“Muslims: Overjoyed as 130k in Donations Pour in for Vandalized St Louis Jewish Cemetery”, Forward.com, 2017). Di Filipina para pemimpin agama Kristen bergandengan tangan membantu membangun kembali kota Marawi yang hancur akibat serangan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) dan membuat lebih dari 500.000 penduduk kehilangan tempat tinggal. Mereka mengatakan, “Jangan sampai Saudara-saudari muslim kami kaum Muslim merasa kacau, terpuruk, dan dilupakan.” (Philippine Christian Leaders Join Help Rebuild Muslim-Majority City”, ncronline.org, 2017)
Sementara di Indonesia, aksi kepedulian terhadap korban teror umat agama Kristen di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman Yogyakarta mendapat perhatian khusus oleh tokoh moderat seperti Buya Syafii Maarif. Tak hanya Beliau, komunitas umat Islam memberikan motivasi dan membantu membersihkan gereja yang diserang oleh oknum tidak bertanggungjawab. Setiap agama pasti membawa pesan perdamaian sebagai fitrah ajarannya. Karena, hakikat agama hadir sebagai media aktualisasi diri melalui ritualitas keagamaan yang bersifat individu, maka pesan damai harus selalu digairahkan oleh setiap umat beragama. Sebab, perdamaian adalah salah satu roh agama. Iklim politik serta keberagaman yang semakin kompleks dapat mengakibatkan konflik bersenjata dengan sesama warga sendiri. Tindakan tersebut telah mencoreng hak asasi warga. Jadi, persoalan keyakinan adalah hak individu dan agama mengajarkan untuk menghargai keyakinan orang. Tentu saja kita harus berpegang teguh kepada landasan Pancasila dan UUD ’45 dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Agama kadang menjadi komoditi yang laris untuk melanggengkan tindak kekerasan. Korban tindak tanduk oknum yang mengatasnamakan agama telah banyak terjadi di berbagai pelosok dunia. Kasus ekstremisme di Timur Tengah menjadi contoh ketika agama digunakan sebagai langkah pembenaran semu. Indonesia sebagai negeri majemuk, harus menyadari tentang potensi perpecahan yang akan melanda negeri ini. Relasi dialogis antar agama harus terjalin erat dalam harmoni perbedaan keyakinan. Perbedaan suku, agama, ras telah menjadi pelangi yang mewarnai kehidupan.
Dalam beberapa waktu terakhir, terdapat sejumlah kasus yang dapat menjadi alarm keberagaman kita. Penyerangan di Gereja Santa Lidwina Yogyakarta, tindakan persekusi Biksu Mulyanto di Tangerang. Sementara di Bandung, Pengurus PERSIS, HR Prawoto dianiaya hingga meninggal dan pengurus Pondok Pesantren Al-Hidayah, K.H. Umar Basri juga menjadi korban penganiayaan. Kejadian ini telah merobek benang kebangsaan yang telah dijahit dengan susah payah oleh para pendiri bangsa. Ekstremisme dan radikaslime memang cenderung merugikan kepentingan umum.
Politisasi agama menjadi iklan yang laris kepada masyarakat. Langkah absurd politisi busuk dengan mencaplok ayat dan hanya menguntungkan pihaknya telah mencoreng keindahan kalam Ilahi. Pemilihan umum menjadi ajang untuk memainkan isu-isu sensitif ke permukaan seperti agama, suku, dan ras.



Paradigma truth claim (klaim kebenaran) yang terus menerus menghinggapi pikiran setiap pemeluk agama mengakibatkan mereka saling menegaskan diri bahwa hanya agama merekalah yang paling benar , sedangkan agama yang lain salah dan menyesatkan.
“Aku telah kafir dari agama Allah, bagiku kekufuran adalah wajib dan itu buruk menurut umat Muslim.” Pernyataan itu dilontarkan oleh Ibn Manshur Al-Hallaj karena maraknya tuduhan kafir yang ditujukan kepadanya oleh orang-orang sezamannya, meskipun sebagian yang lain menganggapnya sebagai seorang wali (Kekasih Allah).
Al-Hallaj berkata kepada Ibrahim bin Fatik, ”Wahai Anakku, sebagian orang bersaksi bahwa aku adalah kafir. Sebagian lagi bersaksi bahwa aku adalah wali (Kekasih Allah). Mereka yang bersaksi bahwa aku kafir adalah orang-orang yang lebih dicintai dan disukai oleh aku dan Allah. Daripada mereka yang menggangap bahwa aku adalah Wali.”
Ibrahim bin Fatik berkata: “Kenapa demikian, Wahai Tuan Guru?”Al-Hallaj menjawab, ”Sebab orang-orang yang bersaksi bahwa aku adalah Wali, itu karena mereka 'baik sangka' terhadapku. Sementara orang-orang yang bersaksi bahwa aku kafir itu dikarenakan kecintaan dan fanatisme mereka terhadap agama mereka. Orang yang mencintai dan fanatik terhadap agamanya, maka aku dan Allah lebih mencintai orang itu daripada orang yang berbaik sangka kepada seseorang.”[1]Jelaslah bahwa tuduhan ‘kafir’ sebagaimana disinggung oleh Al-Hallaj di atas dikarenakan fanatisme agama.
Fanatisme yang awalnya adalah perasaan di alam sadar manusia, setelah diperkuat oleh berbagai doktrin para ulama garis keras atau tokoh agamawan menggerakkannya untuk menentang sekaligus berupaya melenyapkan seluruh doktrin, pemikiran, dan agama yang berbeda. Fanatisme adalah paham yang melakukan penolakan terhadap representasi. Bentuk paling eksplisit dari penolakan ini adalah Ikonoklasme (kebencian dan perusakan terhadap ikon dan citra).
Fanatisme yang lahir dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pikiran, merendahkan kemulian Bani Adam. Kebebasan beragama tanpa kekerasan merupakan unsur konstitutif. Menjaga martabat manusia lebih penting dari semua hambatan suku, agama, ras yang mengotak-ngotakkan kemanusiaan.
Jika ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin agama akan menjadi busuk. Kejadian seperti itu mengingatkan kita dengan apa yang terjadi saat ini. Melalui rangkaian kata-kata yang memikat, oknum agama mengobarkan tuduhan kepada pihak yang tak sejalan dengan pemikiran mereka. Hal tersebut dapat mengguncang gejolak perasaan masyarakat yang merasa tertuduh. Tak hanya di situ, jika ini dibiarkan gejala ekstremisme hingga kekerasan dapat menjalar dan menjangkiti pola pikir khalayak umum. Semakin kuat hegemoni informasi yang mengandung ekstremisme, semakin kuat bangsa ini akan mengalami disintegrasi sosial. Kenyataan tersebut akan menguatkan kekerasan mengatasnamakan agama.
Dalam beberapa tahun terakhir, represi masyarakat terhadap kebebasan sipil menjadi fenomena umum. Ancaman baru muncul berupa kekerasan oleh kelompok-kelompok intoleran. Emosi seketika menghinggapi jalan pikiran mereka tanpa memikirkan jangka panjang atas tindakan yang dilakukan. Ada sejumlah faktor yang dapat memunculkan benih sikap ekstrim di antaranya, lemahnya pandangan terhadap hakikat agama, banyaknya kaum beragama yang tidak menguasai substansi ajaran agama, lebih-lebih mereka yang tidak paham akan roh perjuangan agama mereka. Alhasil mereka mudah sekali di provokasi dan di peralat dengan mengatasnamakan agama.
Di sini kita coba menyederhanakan fenomena ekstremis sebagai berikut :
warga baik (pelaku), merakit bom (program), untuk diledakkan bersama tubuhnya (program), agar ratusan orang terbunuh (karya), sinyal perlawanan kepada USA (tujuan politis), masuk surga (spritual). Pelaku biasanya tidak dikenal lingkungan. Muncul pertanyaan kenapa pelaku ekstremis melakukan tindakan kekerasan tatkala ia juga memiliki hati nurani? Bagaimana kondisi manusia ketika melakukan kekerasan terhadap agama? Manusia adalah makhluk yang mudah tergoda. Kekerasan juga dapat menggoda manusia.

Dari berbagai aksi teror konkret atas nama agama di berbagai kasus, kita bisa menangkap pola epistemologis dan antropologis politis yang universal. Kekerasan atas nama agama tidak sepenuhnya cara berpikir para pelaku teror, melainkan penataan struktural dalam masyarakat dewasa ini membuahkan aksi teror. Pelaku kekerasan sejatinya telah di persona oleh kegelapan. Kita tidak ingin terjadinya globalisasi kekerasan sehingga menjamur teror yang mendunia. Sejatinya, demokrasi juga memungkinkan adanya aksi teror. Ini juga memunculkan risiko-risiko tindakan intoleran dan kekerasan. Doktrin agama dapat menjadi tujuan eksistensial bagi para pelaku termotivasi untuk melakukan kekerasan dengan ganjaran sesuai agama yang ia anut.
Kekerasan atas nama agama adalah persoalan klasik. Target akhir bukan hanya menghancurkan kelompok minoritas atau agama, namun penghancuran peradaban dunia yang hegimonial. Tidak menutup kemungkinan agama menjadi kendaraan untuk melakukan pembenaran. Dunia ini dianggap sudah buruk dan perlu dihancurkan. Pertanyaannya, kenapa manusia rela mati untuk menjadi ‘pengantin’ bom bunuh diri? Karena ini menyangkut persoalan metafisis.
Jadi kalau begitu, Upaya apa untuk  mencegah dan melawan narasi radikalisme? Menurut hemat penulis, ekstremisme dan radikalisme bisa diredam melalui pemahaman agama yang mendalam. Harus ada tokoh moderat atau sentral yang menjadi contoh sehingga dapat membawa keharmonisan. Mendudukkan orang yang berada di luar pemahaman dan keyakinan kita sebagai sesama makhluk Tuhan adalah pekerjaan rumah paling besar untuk kita semua. Alasan menghargai kemanusiaan adalah argumentasi paling paripurna untuk menumbuhkan sikap menghargai terhadap mereka yang berbeda pemahaman.

Agama tidak boleh mengalami pengerasan, ajaran serta warisan karena dapat mengakibatkan runtuhnya sikap toleransi. Indonesia banyak dipuji dunia sebagai komunitas muslim yang paling menjanjikan dalam menawarkan solusi perdamaian. Cinta kasih dan toleran jangan kita artikan sebagai sikap lemah dalam beragama. Orang yang memiliki kepercayaan diri akan kebenaran agamanya serta keluasan ilmunya bisa berbuat toleran dan harmoni kepada kelompok agama lain.
Mengorbankan diri sendiri untuk tindakan yang radikal adalah sesuatu yang tidak rasional. Sejatinya eksistensi kita menjalani hidup dengan baik bukan mengkhiri hidup dengan tindakan ekstremis. Kita harus melawan pikiran ekstrem dengan pikiran moderat, karena dengan begitu dapat meminimalisir gerakan radikal.
Terdapat sekurang-kurangnya 4 soal yang perlu dipikirkan secara bersamaan dalam setiap penyelesian ekstremisme dan kekerasan atas nama Tuhan;
Pertama, adanya tindakan untuk meredam dan membatasi ekstremisme, sehingga tidak mengeras dalam intensitasnya. Kedua, adanya bantuan yang cepat untuk menolong orang-orang yang menderita karena tindakan radikal dan kekerasan.
Ketiga, adanya tindakan mengawasi dan membekukan para aktor yang dengan sengaja membuat situasi panas, meniup-niup ketidakpuasan yang ada dan mendorong untuk terlibat kekerasan dengan kelompok sosial lainnya. Keempat, adanya usaha pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang menjadi korban kekerasan.
Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip pernyataan dari sahabat Ali karramallahu wajha, seorang  Sahabat Nabi SAW: "Mereka yang bukan saudaramu dalam seiman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”



Profil Penulis
AJI SETIAWAN.Pria kelahiran  Magetan( di lereng kaki gunung lawu,udara dingin dapat merasuk ke dalam kalbu),Jawa Timur.
Mahasiswa Ilmu Agama Islam Konsentrasi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta( kalau boleh jujur salah jurusan,tak terasa sudah tiga tahun.target UNJ JATIM no UNJ DKI JAKARTA. Yasudahlah pasrah menerima takdir atas anugerah ilahi robbi).
marilah kita merenungkan sebuh motivasi kehidupan dari proklamator tercinta yang diabadikan menjadi nama stadion terbesar di Indonesia:
“Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit!bermimpilah setinggi langit.Jika engkau jatuh ,engkau akan jatuh di antara bintang-bintang”
   Ir soekarno.
berharap menjadi jurnalis sepak bola dan diutus untuk meliput pergelaran piala dunia dan piala eropa.semoga saja
berhasrat menginjakan kaki di tanah Britania Raya.dikota yang melahirken band ternama dunia(Keterangan lebih lanjut lihat yang paling bawah nanti ya,nama klub yang diambil dari sebuah nama kota di tepi lautan dunia)
Majelis Masyarakat Maiyah.Maiyahan Nusantara.Kenduri Cinta Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Majelis yang mengedepankan sisi humanis untuk menjawab persoalan yang problematis dengan cara tidak dogmatis dan oportunis.
Kajian perpaduan budaya melalui sentuhan filosofis,mengusung seni serta memadupadankan antara musikalitas dalam negeri dan luar negeri sehingga menghasilkan suara tak berperi.berkumpul tanpa berpikir pragmatis,kalangan altruis bukan egois.
Peminat bahasa perancis semoga bisa membawa aku terbang menginjakan kaki di Sarbone dan Paris.BON VOYAGE!!!!
Menampilkan wajah islam optimis,bukan islam pesimis.islam romantis,bukan islam sinis.islam modernis,bukan islam arkais.islam manis,bukan islam anarkis,islam ramah,bukan islam marah-marah.Islam dialektika,bukan islam retorika
nah ini dia :
BIG FAN OF LIVERPOOL !!#YNWA #THEREDS#LIVERPUDLIAN#suportergarislucuGokil sekian kawan!






[1] Al-Husain ibn Manshur Al-Hallaj, Kitab al –Thawasin (di edit oleh Louis Massignon), Damascus Dar al –Yanabi, cet I, 2004, h.50.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan pandang

Resume Buku "Robohnya Dakwah di Tangan Da’i"

Nikmatnya Menghafal