Tantangan Menanggulangi Liberalisme dan Ekstrimisme


Tantangan Menanggulangi Liberalisme dan Ekstrimisme
Oleh : Ridwan Arifin Shoheh
Pukul 04.03 WIB, 15 Februari 2018



“Bukan sekedar paham yang menginginkan perubahan dalam sistem politik dan sosial dengan cara yang ekstrem dan menggunakan kekerasan. Radikalisme lebih dari itu adalah paham yang secara stratejik mengingingkan/bertujuan melakukan  perubahan  atau membalikan seluruh sistem sosial politik secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Pada umumnya dengan cara kekerasan tetapi bisa juga dengan cara tanpa kekerasan. Bisa cepat, bisa bertahap, dan memakan waktu, tersistematisir serta terorganisasi dengan baik”, paparan makna radikalisme oleh Dr. F. Iriani Sophiaan M.Si (BARA UI- Forum Bela Negara Alumni Universitas Indonesia).
Menjadikan suatu tantangan bagi bangsa maraknya kaum fundamentalis sebagai aliran, paham, dan agama yang berupaya untuk kembali kepada kemurnian pemahaman sebagai asas dan dasar yang harus diyakini. Beranggapan bahwa kelompoknya-lah yang benar, memberikan asumsi-asumsi sesuai teks-teks kitab suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Kelompok ini berusaha meraih kekuasaan politik untuk dapat mengembalikan kejayaan tradisi (agama) mereka.
Sepanjang sejarah di Indonesia, radikalisme kerap terjadi oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam, sejatinya sebagai rahmatan lil ‘alamin namun asumsi Islam bergeser menjadi ‘boncengan’ atas gerakan yang cukup ekstrimis. Beberapa alur sejarah disebutkan, pada tahun 50-an Pemberontakan, Gerakan Sempalan kepada Negara yang dipelopori oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dilakukan secara sipil dan militer; tahun 90-an sampai awal-awal tahun 2000-an munculnya gerakan-gerakan kekerasan dengan maraknya aksi-aksi terorisme (mulai terkait secara trans nasional); 5-10 Tahun terakhir ini (2004-2018), terorisme/tindakan kekerasan menurun, perjuangan radikalisme mulai masuk ke dalam struktur kenegaraan dan politisasi masjid dan dakwah, dan berkembangnya intoleransi menggunakan unsur SARA.
Beberapa fakta internalisasi dan penyebaran faham radikal berdasarkan hasil penelitian, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2011 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan paham radikalisme di kampus-kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), dan Unversitas Airlangga (Unair). Paham ini masuk melalui penyelundupan pada organisasi kemahasiswaan kampus dimana sebagian besar justru pada perguruan tinggi non-agama. Maarif, 2013, mengonfirmasi hasil penelitian LIPI bahwasanya terjadinya ekspansi gerakan Negara Islam Indonesia (NII) mengakibatka meluasnya paham radikalisme di kampus. Kemudian bagaimana penyelundupan itu dilakukan? Apakah melalui beberapa kajian bernuasa islam-politik?
Radikalisme di Kampus-kampus
Maraknya radikalisme di kampus-kampus semakin menjadi-jadi sebagai ungkapan jati dirinya. Mahasiswa dididik untuk menjadi generasi bangsa yang siap menghadapi tantangan di masa depan sangat disayangkan justru terjebak dalam radikalisme. Perguruan tinggi yang diharapkan menjadi centre of excellent ilmu pengetahuan dengan berbagai penemuan teknologi tinggi dan teori-teori baru dari berbagai disiplin ilmu malah menjadi wadah yang subur bagi tumbuhkembangnya radikalisme. Acara inisiasi/baiat menjadikan awal mengakarnya paham-paham radikalisme yang membahayakan robohnya bangunan besar kebhinekaan Indonesia, Pancasila yang penuh toleransi dan hidup secara bergotong-royong. Pengupayaan dilakukan untuk melahirkan kader organisasi massa dan partai politik berbasis agama. (Sebagai contoh konkrit radikalisme kerap terjadi di kampus lihat laman facebook Abi Hasantoso #MencegahRadikalisme “Bertemu Pelajar Radikal”)
Gerakan radikalisme yang telah dibubarkan oleh keputusan pemerintah sesuai Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organsasi Masyarakat (Ormas) merupakan akar tumbuhnya sifat ‘anti Pancasila’. British Broadcasting Corporation (BBC) Indonesia (22/5/2016), menyebutkan terdapat di Yogjakarata berkembang kajian Sirah Nabawiyah rutin setiap Kamis. Setiap undangan tertulis “Demokrasi merusak dan kembali ke khilafah”. Kemudian Robby Efendi, pengurus ‘gerakan radikal’ kampus Institus Seni Indonesia Yogjakarta (ISI Yogjakarta), penyebaran paham ini dengan cara Bedah Buku, Tabligh Akbar, bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan damai bukan dengan kekerasan dan ia mengaku sejumlah aparat keamanan dan PNS mendukung system khilafah tersebut.
Bahaya radikalisme di kalangan generasi muda harus dicegah sekarang juga! Langkah konkrit amat diperlukan. Mencegah radikalisme di kalangan muda melaui jalur pendidikan. Sebelum terlambat, dan sebelum Indonesia hancur luluh berantakan, bahkan hanyalah tinggal nama di kemudian hari. “Bagaiamana tindaklanjut dalam menjawab tantangan ini?”, tanya seseorang. “Ciptakan ‘Generasi PATRIA’, generasi masa depan Indonesia yang siap menghadapi tantangan zaman untuk memajukan Indonesia dengan berkarakter Pintar, Aktif, Toleran, Rajin, Inovator, dan Asyik”, jawab Dr. F. Iriani Sophiaan M.Si.


                   Ikhtiar Deradikalisasi

Indonesia meghadapi tantangan radikalisme, ektremisme, dan jaringan terror yang terkoneksi dengan lingkaran Internasional. Sebab ada pengupayaan serius untuk melawan nilai-nilai Pancasila, baik dalam kontestasi ideologi maupun konstitusi. Bagaimana pendidikan merespon ini? Bagaimana strategi deradikalisasi serta pencegahan kekerasan dari dunia pendidikan?
Survei Wahid Foundation (akhir tahun 2016), sebanyak 0,4% penduduk Indonesia siap bertindak radikal dan 7,7% mau bertindak radikal, dengan kata lain 600.000 warga pernah bertindak radikal, serta 11 juta siap bertindak radikal, jika ada kesempatan dan dorongan. Hal ini bukan saja  menjadi usaha penangkalan radikalisme, lebih dari itu berupaya untuk memporakporandakan pemahaman radikalisme yang berujung pecahnya pondasi bangsa dan stabilisasi penanganan melalui pendidikan yang komprehensif baik formal maupun informal. Survei lanjutan Wahid Foundation (2017) menyatakan bahwa 60% aktifis Rohani Islam (Rohis) siap jihad. Riset ini dilakukan terhadap 1.626 aktifis Rohis dan 68% aktifis Rohis siap berjihad pada masa mendatang. Sedangkan 37% sangat setuju dan 41% setuju, umat islam bergabung pada satu kekhalifahan, berujung terhadap tindakan melawan pemerintah dan ideologi bangsa.
Jumlah Pengguna ponsel meningkat drastis, lebih dari 200 juta ponsel di Indonesia. Adapun pengguna internet pada lapisan generasi muda sangatlah tinggi. Sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia, 40% diantaranya ‘gila’ media sosial (laporan Tetra Pak Indeks, 2017). Teknologi internet dan media sosial tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan pengarahan moral serta etika kehidupan, berbanding terbalik justru lebih menjadi ajang perdebatan serta penumpahan kebencian, hate spin (pelintiran kebencian) yang dianggap lumrah sebagai interaksi media sosial. Generasi milenial menjadi bagian dari ‘korban’ atau ‘aktor’? Perlu adanya literasi digital bagi generasi milenial, dengan membangun kecerdasan bermedia sosial dan memanfaatkan fasilitas teknologi internet sebagai wawasan ilmu pengetahuan. Virus kekerasan yang sudah menjalar harus ditangani secara komprehensif, tidak hanya di lingkungan sekolah tapi juga dari lingkungan dan keluarga. Adapun model pendidikan yang sesuai dapat dilakukan dengan ‘ngaji’/belajar wawasan islam dari khazanah tradisi/pesantren menjadi relevan membangun karakter sebagai penerus estafet kepemimpinan bangsa dan bukan sebagai provokator yang berusaha mengajak masa untuk merobohkan Negara Indonesia. --Ada yang lama hilang dalam dunia pengajaran kita,”ADAB”--.
Perang Media Asimetris, Hoax, dan Impilasinya
Perang Asimetris adalah suatu bentuk pemberitaan media sebuah peristiwa di kawasan pemberitaan politik atau konflik, dengan audiens Asia, Eropa, Amerika, atau Afrika, dengan narasi atau perspektif yang berbeda dalam pemberitaan oleh sebuah media, baik cetak maupun online untuk kepentingan lain yang lebih besar. Sebagai contoh, dalam kebangkitan 2010 “Arab Spring” atau sering disebut Annahdlah al ‘Arabiya (Kebangkitan Bangsa Arab) dan intervensi sekaligus sponsor konflik yang tidak pernah sampai kesini karena memang dirahasiakan. Banyak sekali informasi yang masuk ke Indonesia, baik oleh media besar CNN, BBC, Al Jazeera, Al Arabiya yang langsung diterima pembaca berita konflik antar kelompok A & B, anti pemerintah dan pro pemerintah, dan dikanal berita sektarian dikemas dan di-framing berita khilafah melawan Thogut. (http://www.haaretz.com/news/egypt-born-jew-looks-to-buy-50-of-al-jazeera-1.6471)
Hoax dibutuhkan dalam perang zaman sekarang terutama dalam perang infomasi dan ideologi. Menjadi suatu kekuatan cyber untuk melucuti doktrin-doktin menyesatkan kepada kaum awam dan masyarakat yang haus akan informasi ter-update. Kontra propaganda yang berpotensi menimbulkan perpecahan elemen bangsa. Hoax dan kontra propaganda inilah yang menjadi elemen perang asimetris.
Berdasarkan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) November 2016, sejumlah 20,6% dari 27,3 juta pengguna menjadi penikmat konten berita mancanegara dan lebih banyak dinikmati daripada konten berita lainnya, 13,8% dari 18,3 juta orang penikmat konten berita kesehatan; 13,4% dari 17,7 juta orang (kriminalitas); 11% dari 14,5 juta orang (olahraga); 6,6% dari 8,7 juta orang (hukum). Adapun pengguna internet sebagai konten hiburan diantaranya, 41% dari 54,4 juta orang mengunjungi situs menonton film online; 35,5% dari 46,9 juta orang (mendengarkan music online); 12,4% dari 16,3 juta orang (menonton olahraga)
Presentasi yang tinggi dan kecenderungan dinikmatinya dari konten berita adalah konten berita mancanegara dan konten hiburan dengan menonton film online menjadikan ladang kontra propaganda dan konten hoax marak disebarluaskan oleh cyber criminals. Berikut konten pemalsuan berita yang terjadi di mancanegara dan lokal telah di-editting secara sangat professional.


Al-Qaeda dan North Atlantic Treaty Organization (NATO) adalah musuh yang tak terdamaikan dan kerja sama antara mereka adalah sangat mustahil. Sebaliknya, mereka memperkuat perkiraan banyak pengamat tahun 2004 tentang  konspirasi peristiwa World Trade Center (WTC) 11 September 2001, bahwa para pejuang Al-Qaeda adalah tentara bayaran dari layanan psy-ops dari Central Intelligence Agency (CIA) untuk melakukan destabilisasi di wilayah yang kaya akan sumber daya alam sekaligus menghacurkan tata negara di negara yang ditarget. Terungkap kemustahilan yang tak terjadi antar Al-Qaeda dan NATO sebagai berikut.

Adapun sering dikatakan oleh beberapa pihak untuk mengelabui awam bahwa itu adalah bendera berharokat dan tanda baca adalah bendera Rasul/Nabi. Merujuk pada sejarah aksara Arab, baru pada tahun 62 H Imam Abul Aswad Ad-Duali memberi tanda baca. Lalu 65 H Imam Kholil bin Ahmad Al-Faroghibi beri tanda Harokat. Yang artinya klaim beberapa orang bahwa itu bendera Nabi sangatlah AHISTORIS dan menyesatkan.

“Mari kita jaga generasi kita agar tidak terjerumus dalam kubangan propaganda yang dibumbui dengan isu-isu SARA”, seruan Roosyid Rustanto.
“Kelompok yang berusaha bela Negara itu berjalan sendiri-sendiri sedangkan kelompok belah Negara itu bisa terorganisir menjadi bagus. Ujaran kebencian terorganisir betul, sementara kebaikan tidak saling mengenal satu sama lain. Mari bersatu untuk menjawab bahwa kita tidak malu untuk disebut radikal dalam membela kesatuan dan persatuan bangsa ini (Indonesia).”-Kang Maman-
Disarikan dari Diskusi Publik “Tantangan Menanggulangi Radikalisme & Ekstremisme” dengan Pembicara: Iriani Shopiaan (Ketua Forum Bela Negara Universitas Indonesia); Hasan Chabiebie (Pustekkom Kemendikbud); Roosyid Rustanto (Div Kontra Propaganda Aswaja); dan Abi Hasantoso (Praktisi Komunikasi Pemasaran) dengan dimoderatori  Abdullah Badrie (Pemimpin Redaksi dutaislam.com) di Ruang Rapat Utama, Kantor Staff Presiden.
Jakarta, 14 Februari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan pandang

Resume Buku "Robohnya Dakwah di Tangan Da’i"

Menuju 2019 : Napak Tilas Konstelasi Pemerintah Sebelumnya